Jumat, 13 Maret 2015

Gender dan Kajian Perempuan

Pengertian gender menurut para ahli, antara lain :
  • Gender adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran
    perempuan ditentukan (Suprijadi dan Siskel, 2004).
  • Gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan lakilaki
    yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang
    berlaku dalam periode waktu tertentu (WHO, 2001).
  •  Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi
    perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya (Azwar, 2001).
  • Gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk
    menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (Suryadi dan Idris,
    2004).
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa gender adalah: suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan.
A. Hal-hal yang Bersifat Kodrati dan bukan Kodrati didalam Masyarakat
Mengapa selama ini orang sering mencampuradukkan pengertian Gender dan kodrat? Dikarenakan perbedaan kodrat yang dimiliki perempuan dan laki-laki tersebut, masyarakat mulai memilah-milah peran sosial seperti apa yang (dianggap) pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang (dianggap) sesuai untuk perempuan. Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan mempunyai rahim dan bisa melahirkan anak, maka kemudian berkembang anggapan umum di masyarakat bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab mengurus anak. Selanjutnya, anggapan tersebut semakin berkembang jauh dimana perempuan dipandang tidak pantas sibuk di luar rumah karena tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai. Kebiasaan ini lama kelamaan berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan dianalogikan dengan pekerjaan pekerjaan domestik dan ‘feminin’ sementara laki-laki dengan pekerjaan-pekerjaan publik dan ‘maskulin’. Peran Gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Peran Gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran Gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi dan tempat yang berbeda sehingga sangat mungkin dipertukarkan diantara laki-laki dan perempuan. Mengurus anak, mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dll) adalah peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga bisa bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat. Dengan demikian, pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa kita istilahkan sebagai peran Gender. Jika peran Gender dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan bisa disesuaikan dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menganggap aneh seorang suami yang pekerjaan sehari-harinya memasak dan mengasuh anak-anaknya, sementara istrinya bekerja di luar rumah. Karena di lain waktu dan kondisi, ketika sang suami memilih bekerja di luar rumah dan istrinya memilih untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, juga bukan hal yang dianggap aneh.
B. Ketimpangan dan kesetaraan Gender di Lingkungan Masyarakat
Kasus :
Di daerah kita masing-masing sering kita jumpai seorang istri yang memilih bekerja di rumah dan suaminya memilih bekerja buruh di pabrik. Pada saat mengambil keputusan di keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin bekerja di luar atau di dalam rumah. Demikian juga sang suami tidak keberatan untuk bertukar peran suatu saat istrinya mempunyai kesempatan bekerja di pabrik. Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa telah tercipta kesetaraan Gender di dalam keluarga tersebut. Istri tidak dipaksa suami untuk tinggal di rumah dan suami tidak diharuskan bekerja di pabrik. Mereka memilih peran tersebut atas dasar kemampuan dan keinginan masing-masing pihak, tidak ada paksaan ataupun tekanan dari istri maupun suami. Kesetaraan Gender tercipta manakala istri dan suami mempunyai peluang yang sama untuk memilih jenis pekerjaan yang disukainya dan mempunyai posisi yang sama saat mengambil keputusan dalam keluarga. Sedangkan pada kebanyakan kasus, korban KDRT adalah perempuan. Tentu saja laki-laki pun bisa jadi korban kekerasan dalam rumah tangga meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan. Dari sekitar 10 sampai 69 persen dari pasangan hidup di dunia, perempuan menjadi korban kekerasan fisik dari pasangannya. Prosentase ini belum termasuk pada kekerasan psikis (mental) dan seksual, yang tentunya menimbulkan dampak lebih panjang dan kompleks bukan hanya bagi korban kekerasan tersebut (perempuan) tapi juga bagi yang menyaksikan kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga, yaitu anak-anak.
Penjelasan :
Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa membicarakan kesetaraan Gender adalah sesuatu yang mengada-ada. Hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda. ‘Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh nantinya akan kembali juga masuk dapur’. Pernah mendengar ungkapan seperti itu? Hal ini masih kerap terlontar saat dipertanyakan apakah anak perempuan atau laki-laki yang akan diberikan kesempatan untuk meneruskan sekolah. Dari ungkapan tersebut sudah dapat kita lihat ada dua hal yang mencerminkan tidak adanya kesetaraan Gender yaitu: Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki  untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan lingkungannya, Laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih ‘masuk  dapur’. Pemikiran seperti ini umumnya muncul terutama pada kelompok masyarakat tradisional-patriarkhi yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur. Bukan kodratnya perempuan untuk masuk dapur, karena kegiatan memasak di dapur tidak ada kaitannya dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan. Kegiatan memasak di dapur (atau kegiatan domestik lainnya) adalah suatu bentuk pilihan pekerjaan dari sekian banyak jenis pekerjaan yang tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dll), yang  tentu saja boleh dipilih oleh perempuan ataupun laki-laki. Kesetaraan Gender memberikan pilihan, peluang dan kesempatan tersebut sama besarnya pada perempuan dan laki-laki.


C. Ciri-ciri Ketimpangan dan Keadilan Gender didalam Masyarakat
Bentuk-bentuk atau ciri-ciri ketidakadilan gender itu antara lain peminggiran (Marginalisasi), penomorduaan (Subordinasi), pelebelan (Stereotip), kekerasan (Violence), beban kerja berlebihan (Multiple Burden).
Contoh ketidakadilan gender pada remaja,  jika terjadi kehamilan pada remaja putri yang masih sekolah maka hanya remaja putri tersebut yang dikeluarkan dari sekolah sementara remaja putra yang menghamili tidak dikeluarkan. Seharusnya jika mungkin, kedua-duanya tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa seorang pria tidak dapat dimintai pertanggung jawaban jika si perempuan yang menggodanya dengan baju atau sikap menggoda. Oleh sebab itu semua pria seharusnya mampu mengontrol dorongan seksual mereka. Mereka yang mengatakan tidak mampu menngontrol dorongan seksual mereka berarti bohong dan tidak dewasa. Jika pria tidak bisa  mengontrol diri sendiri berarti mereka punya masalah. Tidak akan pernah dan tidak mungkin ada alasan  untuk menyakiti orang lain.
Dalam konteks contoh kasus diatas seharusnya perempuan mendapat perlakuan yang sama (gender) sehingga tidak terjadi pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi, sehingga tidak tercipta adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, seperti hak dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.
D. Akibat dari Ketimpangan atau Ketidakadilan Gender
1. Kekerasan Ekonomi
Merupakan setiap tindakan yang mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi atau tereksploitasi. Seperti  kaum perempuan mendapatkan warisan lebih kecil dari pada kaum laki-laki, kemungkinan tidak diberi uang belanja oleh suami. Dan  dalam hubungan kerja, perempuan sering mendapatkan upah lebih rendah dari pada upah laki-laki.


2. Marginalisasi
Merupakan suatu kondisi dimana posisi perempuan terpinggirkan, seperti dalam hal kerja pihak perusahaan cenderung menekan upah buruh perempuan, karena perempuan dianggap tidak banyak menuntut meskipun upah mereka lebih rendah dari laki-laki, selain itu karena mereka dianggap bukan pencari nafkah utama. Selain itu kondisi kerja mereka  buruk seperti tempat dan situasi kerja yang membahayakan kesehatan, tidak adanya jaminan keselamatan, dan kesehatan kerja (K3), tidak adanya jaminan sosial (Jamsostek),  dan mereka tidak pernah mendapatkan cuti haid. Marginalisasi juga berarti meminggirkan perempuan menjadi pekerja sektor informal yang jauh dari akses perlindungan hukum, dengan kondisi seperti penghasilannya tidak menentu dan tidak berkesinambungan juga waktu atau jam kerjanya panjang.
3. Kekerasan Sosial
Kekerasan Sosial yaitu berupa Domestifikasi, dimana perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap pengurusan rumah tangga. Mereka tetap dituntut untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak walaupun mereka bekerja mencari nafkah (produksi). Hal ini menyebabkan banyak kaum  perempuan terutama yang sudah berumah tangga ingin bekerja dekat dengan rumah agar tetap bisa mengurus rumah tangganya.
4. Beban kerja yang berlebih
Merupakan tuntutan terhadap kaum perempuan untuk tetap memikirkan dan membagi waktunya dalam mengurus rumah tangga, melayani suami atau anggota keluarga yang lain dan merawat anak, walaupun mereka bekerja mencari nafkah (produksi). Sehingga  mengakibatkan jam kerja perempuan menjadi sangat panjang dan beban kerja berlebih. Hal ini juga yang memungkinkan mereka menjadi kurang istirahat, kelelahan, tidak ada waktu untuk mengurus diri sendiri, kekurangan waktu luang, kesulitan membagi waktu, tertekan dan mengalami gangguan hubungan dengan suami, anak atau anggota keluarga yang lainnya.



5. Tidak diakui sebagai pencari nafkah keluarga
Kaum perempuan secara de facto banyak yang bekerja mencari nafkah, bahkan pada perempuan kelas bawah istri secara tidak langsung dituntut untuk mencari nafkah, dan apabila satu pekerjaan penghasilannya belum mencukupi, maka mereka akan mencari sumber penghasilan lainnya. Namun walaupun perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tetap saja dia dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Hal ini disebabkan, karena adanya anggapan yang melekat dalam masyarakat patriarki bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama dalam keluarganya dan penghasilan kerja perempuan dianggap sebagai tambahan penghasilan suami.
6. Kekerasan fisik, kekerasan priskologis dan kekerasan seksual
Selain mengalami hal-hal diatas, perempuan juga bisa mengalami kekerasan lain seperti : kekerasan fisik, yaitu setiap sikap dan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, luka fisik atau cacat pada tubuh. Yang termasuk kekerasan fisik meliputi pemukulan, beban kerja yang berlebih atau perampasan kemerdekaan yang sewenang-wenang ( tidak boleh bergaul, tidak boleh menyatakan pendapat, dsb). Kekerasan psikologis, yaitu setiap sikap dan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya atau bahkan hingga gila. Kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual atau memaksa untuk berhubungan seksual.
E. Faktor yang Menghambat Keadilan dan Kesetaraan Gender
Ada banyak faktor penghambat upaya untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat kita. Berbagai faktor penghambat yang akan dibahas adalah: faktor budaya, stereotipe, political will, dan keengganan/ketakutan laki-laki bila perempuan menjadi pemimpin mereka, serta terakhir adalah kesalahan perempuan sendiri.
Pertama faktor Budaya. Budaya adalah faktor yang paling dominan yang menghambat proses pembangunan. Misalnya kebudayaan-kebudayaan lokal akan bertentangan dengan ide-ide modernisasi dan globalisasi dalam pembangunan. Sama halnya dengan isu gender yang berbau modern dan global berusaha merubah kebiasaan dan pola hidup yang dianggap lokal dan tradisional.
Kedua, faktor stereotipe. Anggapan bahwa perempuan lemah, emosional, boros, dipenden, tidak sabar, tidak cocok jadi pemimpin dan lain-lain hanyalah hasil konstruksi sosial-budaya suatu masyarakat untuk selalu memojokkan perempuan. Tampaknya stereotipe negatif seperti ini sudah melekat dan dianggap sebagai kodrat bagi perempuan sehingga merupakan suatu hal yang tidak bisa diubah. Stereotipe seperti ini sudah melekat dalam pikiran laki-laki dan perempuan dan tampaknya hal ini telah dijadikan senjata oleh laki-laki untuk menghambat kemajuan bagi perempuan.
Ketiga, faktor political will. Hingga saat ini berbagai peraturan yang mengatur tentang kesetaraan dan keadilan gender sudah cukup memadai. Namun disayangkan political will dari pemerintah masih belum tanggap untuk mendukung dan menjalankan berbagai peraturan tersebut. Landasan idiil(Pancasila) dan landasan konstitusionil(UUD 1945), GBHN 1999 dan Inpres no:9/2000 secara eksplisit dan implisit sudah menyinggung tentang kesetaraan dan keadilan jender. Di tambah lagi dengan berbagai Konvensi PBB yang telah dirativikasi, misalnya Konvensi PBB yang dirativikasi dengan UU No 7 tahun 1984 tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan; Konvensi PBB yang dirativikasi dengan UU No: 68 tahun 1968 tentang hak berpolitik perempuan; Konvensi ILO Nomor 100 tentang persamaan hak untuk perlakuan yang adil; Konvensi ILO No: 111 dirativikasi dengan UU No:21/1999 tentang diskriminasi mengenai upah dan jabatan. Masalahnya pemerintah masih enggan untuk menindaklanjuti berbagai peraturan tersebut. Hal ini mungkin juga dilandasi oleh faktor budaya dan agama di atas yang seolah-olah hanya melegalkan posisi perempuan sebagai subordinatif bagi laki-laki. Apalagi bila kebijakan itu menyentuh kepentingan agama, maka pemerintahpun harus berhati-hati.
Keempat, ketakutan kaum lelaki pada perempuan. Faktor ketakutan ini wajar, karena sejak jaman Adam dan Hawa laki-laki selalu menang, dan perempuan disalahkan. Laki-laki adalah kepala rumah tangga dan sumber utama/tulang punggung ekonomi keluarga. Ada kekawatiran bila perempuan menjadi pemimpin sementara suaminya menjadi bahawan isterinya atau pangkat dan jabatannya jauh di bawah isterinya, akan menimbulkan tekanan psikologis yang luar biasa. Di samping itu, perempuan yang menjadi pemimpin agak susah untuk diajak berkolusi karena ketegasan dan kejujuran mereka. Bayangkan saja seorang guru perempuan yang suaminya nganggur atau “swasta”. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan dan harga diri suaminya, yang seharusnya suaminyalah yang menjadi guru dan tulang punggung ekonomi keluarga. Namun sebenarnya perasaan seperti itu tidak perlu terjadi bila masing-masing sudah bisa memahami dan menerima konsep jender yang seharusnya kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kelima, kesalahan perempuan sendiri. Di samping beberapa faktor di atas, sebenarnya kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan adalah kesalahan perempuan itu sendiri. Sebenarnya apa yang dihadapi oleh perempuan pada saat ini bukanlah masalah yang mengganggu mereka, sehingga timbul sifat apatis dan menyerah pada keadaan. Sifat menyerah pada keadaan ini dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki hidup muncul dari pengaruh nilai-nilai agama dan budaya agar bila ada masalah menyerahkan masalah itu pada Tuhan dan seolah-olah tidak boleh ada usaha lain selain hanya berserah pada Tuhan.
Dikemukakan oleh Bemmelen (2002), beberapa ciri gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada pria dan wanita sebagai berikut. Perempuan memiliki ciri-ciri: lemah, halus atau lembut, emosional dan lain - lain. Sedangkan pria memiliki ciri-ciri: kuat, kasar, rasional dan lain-lain. Namun dalam kenyataannya ada wanita yang kuat, kasar dan rasional, sebaliknya ada pula pria yang lemah, lembut dan emosional. Beberapa status dan peran yang dicap cocok atau pantas oleh masyarakat untuk pria dan wanita sebagai berikut.
v  Perempuan :
1. Ibu rumah tangga.
2. Bukan pewaris.
3. Tenaga kerja domestik (urusan rumah tangga).
4. Pramugari.
5. Panen padi
v   Pria :
1. Kepala keluarga/rumah tangga.
2. Kewaris.
3. Tenaga kerja publik (pencari nafkah).
4. Pilot.
5. Pencangkul lahan
Dalam kenyataannya, ada pria yang mengambil pekerjaan urusan rumah tangga, dan ada pula wanita sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka, sebagai pilot, pencangkul lahan dan lain-lain. Dengan kata-kata lain, peran gender tidak statis, tetapi dinamis (dapat berubah atau diubah, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi).
Berkaitan dengan gender, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut.
1)      Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun  untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik.
2)      Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik.
3)      Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).


F. Peranan Wanita dalam Pembangunan
Setelah kita mempunyai pemahaman yang sama tentang konsep gender, berikut ini akan dibahas peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender. Peranan wanita dalam pembangunan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh wanita pada status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender, berarti peranan wanita dalam pembangunan  sesuai dengan konsep gender atau peran gender sebagaimana telah dibahas di depan, mencakup peran produktif, peran reproduktif dan peran sosial yang sifatnya dinamis. Dinamis dalam arti, dapat berubah atau diubah sesuai dengan perkembangan keadaan, dapat ditukarkan antara pria dengan wanita dan bisa berbeda lintas budaya.
Mengupayakan peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan atau berperspektif gender, dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita di dalam pembangunan. Karena, dalam proses pembangunan kenyataannya wanita sebagai sumber daya insani masih mendapat perbedaan perlakuan (diskriminasi). Terutama, jika wanita bergerak di sektor publik dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada pula ketimpangan gender yang dialami oleh pria. Untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita tersebut, perlu didukung oleh perilaku saling menghargai atau saling menghormati, saling membutuhkan, saling membantu, saling peduli dan saling pengertian antara pria dengan wanita. Dengan demikian, tidak ada pihak-pihak (pria atau wanita) yang merasa dirugikan dan pembangunan akan menjadi lebih sukses.
Usaha-usaha untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender sesungguhnya sudah lama dilakukan oleh berbagai pihak, namun masih mengalami hambatan. Kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum wanita. Oleh karena itu pemerintah telah mengambil kebijakan, tentang perlu adanya strategi yang tepat yang dapat menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat kota, masyarakat desa dan sebagainya. Strategi itu dikenal dengan istilah
pengarusutamaan gender, berasal dari bahasa Inggris gender mainstreaming. Strategi ini tertuang di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Dengan pengrusutamaan gender itu, pemerintah dapat bekerja secara lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender kepada seluruh lapisan masyarakat, baik pria maupun wanita. Dengan strategi itu juga, program pembangunan yang akan dilaksanakan akan menjadi lebih sensitif atau responsif gender. Hal ini pada gilirannya akan mampu menegakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pria dan wanita atas kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat.
Secara operasional, pengarusutamaan gender dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dibangun untuk mengintegrasikan kebijakan gender dalam program pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Pengarusutamaan gender, bertujuan untuk terselenggaranya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender (Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
Pengarusutamaan gender barulah akan memberikan hasil secara lebih memuaskan, jika dilaksanakan oleh seluruh kalangan masyarakat, mulai dari yang tergabung dalam lembaga pemerintah, swasta seperti organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi politik, organisasi keagamaan dan lain-lain sampai pada unit yang terkecil yaitu keluarga. Dalam pembangunan di bidang kesehatan misalnya, kalau perencanaannya, pelaksanaannya atau pelayanannya, pemantauannya dan evaluasinya sudah berwawasan gender, maka dapat dipastikan bahwa kesehatan yang baik dapat dinikmati oleh baik laki-laki maupun perempuan. Begitu juga pembangunan di bidang-bidang yang lainnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ruang lingkup pengarusutamaan gender meliputi empat hal, yakni perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan  evaluasi. Dalam pelaksanaannya, masing-masing hal itu harus mempertimbangkan empat aspek, yaitu peran, akses, manfaat dan kontrol. Artinya, apakah dalam keempat hal tersebut sudah mempertimbangkan bahwa peran pria dan wanita sudah setara dan adil. Apakah akses yang diterima oleh pria dan wanita juga akan setara dan adil. Apakah manfaat yang langsung dirasakan oleh pria dan wanita sudah setara dan adil. Akhirnya, apakah pria dan wanita mempunyai kesempatan yang sama dalam melakukan kontrol dan pengambilan keputusan.
v  Peranan Perempuan dalam Pembangunan
Di dalam pemerintahan, kaum perempuan bukan hanya sebagai pendamping suami, tapi kaum perempuan turut serta berpartisipasi, berperan serta bahkan turut menentukan arah pembangunan. Hal ini terbukti terdapat perempuan-perempuan tangguh yang menjadi Kepala Negara dan Kepala Daerah, mulai dari Presiden-Wakil Presiden, Gubernur- Wakil Gubernur, Bupati- Wakil Bupati, Kepala Badan/ Lembaga/ Dinas/ Instansi, Kabag, Camat, Lurah, Kades demikan pula menjadi anggota legeslatif. Dan pada Pemilu 2014 pemerintah telah memberikan quota 30% keterwakilan perempuan dalam legislatif.
Karena itu dalam kegiatan pembangunan kaum perempuan mempunyai peran:
1.      Menyiapkan kader calon pemimpin bangsa, dimulai dari kehidupan keluarga. Bila perempuannya baik maka akan mencetak generasi yang baik dan bertanggung jawab.
2.      Perempuan turut perperan aktif dalam kegiatan pembanguan terhimpun dalam Organisasi GOW yang merupakan wadah dari organisasi perempuan. Dengan PKK dan Dharma Perempuan telah berperan aktif dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Baik pembangunan dalam bidang mental spiritual sampai kegiatan peningkatan ekonomi, kesejahteraan keluarga dan masyarakat, melaksanakan kegiatan sosial, pendidikan, pelestarian lingkungan dan pemanfatan lingkungan hidup. Fatayat, Muslimat, Aisyiyah, NA, Umri dan lainnya terbukti telah turut serta melaksanakan pembangun dalam perspektif agama
3.      Perempuan turut menentukan arah pembangunan Negara Indonesia, hal ini karena banyak kaum perempuan yang duduk dalam pemerintahan, baik sebagai eksekutif maupun legislatif. Bahkan kaum perempuan dapat memasuki semua lini jabatan dalam pemerintahan, lembaga pemerintah maupun swasta.
4.      Dengan masuknya kaum perempuan dalam organisasi pemerintah, swata, LSM dapat menentukan maju-mundurnya suatu organisasi.
Demikianlah bahwa peran kaum perempuan dalam pembangunan, yang terbukti telah mewarnai segala kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu pandangan lama yang memarjinalkan kaum perempuan sebagai warga kelas dua. Sebagai pihak yang hanya punya hak berkiprah di wilayah domestik, sementara wilayah publik dipandang bukan menjadi hak kaum perempuan. Kaum perempuan dipandang sebagai pihak yang lemah, emosional, tidak dapat menggunakan akal budinya, dan tidak mampu mengembangkan kepemimpinan yang kuat dan efektif. Kaum perempuan dipandang tidak akan mampu masuk ke wilayah politik pemerintahan, karena wilayah ini dipandang sebagai wilayah yang keras, kompleks dan membutuhkan stamina fisik, sehingga tidak mungkin kaum perempuan berkiprah di sana.
Pandangan lama harus digantikan dengan pandangan yang baru. Pandangan baru yang dimaksud adalah pandangan yang melihat kaum perempuan adalah manusia yang juga memiliki hak dan kesempatan yang sama. Dengan pandangan baru ini segala bentuk diskriminasi yang membatasi ruang gerak perempuan hendaknya dihapuskan dan digantikan dengan pandangan yang memperluas ruang gerak kaum perempuan.

DAFTAR PUSTAKA
Moore,H.L. 1988. Feminism and Anthropology. Cambridge: Polity Press.
Saptari,R, 1997. Studi Perempuan: Sebuah Pengantar dalam Saptari,R. Dan Holzner (eds), Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo. 1998
Syarbaini, Syahrial. Dasar-Dasar Sosiologi. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009
www.geoggel.com


Rabu, 04 Maret 2015

Identitas Gender

Identitas GENDER merujuk pada pengertian dan interpretasi yang kita miliki yang berhubungan dengan gambaran pribadi dan gambaran lain yang diharapkan dari seorang laki-laki dan perempuan (Ting–Toomey). Budaya memiliki peranan besar dalam menentukan identitas gender seorang individu. Budaya berpengaruh pada apa yang membentuk keindahan gender dan bagaimana hal itu ditampilkan diantara budaya.
Gender adalah konstruksi sosial yang menjelaskan tentang peran manusia berdasarkan jenis kelamin. Sebab itu, masalah gender lahir dan dipertahankan oleh masyarakat. Masyarakat umumnya didominasi oleh peran laki-laki (patriarki). Laki-laki memiliki peran publik (bekerja, berorganisasi, berpolitik), sementara perempuan memiliki peran privat (mengurus anak, mencuci, melahirkan, memasak). Ini merupakan konstruksi gender yang mainstream.
Aliran-Aliran Feminisme
Hak-hak perempuan yang terabaikan tersebut seringkali berujung pada sebuah diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, ketidakadilan, dan lain-lain yang mana kaum feminis menganggapnya sebagai sebuah penindasan yang dialami perempuan. Penindasan terhadap perempuan berlangsung di hampir semua negara dan golongan agama. Di mana penindasan yang berlangsung di hampir semua negara tersebut telah berhasil dibongkar oleh para feminis di negaranya masing-masing, dan terus berupaya membongkar pengalaman ketertindasan yang dialami oleh kaum perempuan. Tujuan utama dibongkarnya ketertindasan perempuan tersebut adalah untuk memperjuangkan kemanusiaan kaum perempuan agar bisa setara dengan kaum laki-laki khususnya dalam memperoleh akses seperti yang telah dikemukakan di atas.
Inti dari ajaran feminisme adalah agar perempuan memiliki kesetaraan seperti halnya kaum laki-laki dalam memiliki akses seperti yang telah dikemukakan di atas. Akan tetapi, dalam menuju kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, kaum feminis terbagi-bagi lagi ke dalam aliran-aliran sesuai dengan fokus utama ajaran mereka. Berikut aliran-aliran dalam feminisme
1.      Aliran Liberal
Feminisme liberal adalah salah satu bentuk feminisme yang mengusung adanya persamaan hak untuk perempuan dapat diterima melalui cara yang sah dan perbaikan perbaikan dalam bidang sosial, dan berpandangan bahwa penerapan hak-hak wanita akan dapat terealisasi jika perempuan disejajarkan dengan laki-laki. Hal tersebut seiring dengan beberapa sumber teori mengenai feminisme liberal;
Apa yang disebut sebagai feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia pribadi dan umum. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, terutama pada perempuan, akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan setara dengan laki-laki.
Feminisme liberal berpandangan bahwa kaum perempuan harus mempersiapkan dirinya untuk dapat mensejajarkan kedudukannya dengan laki-laki dengan cara mengambil berbagai kesempatan yang menguntungkan serta mengenyam pendidikan, mengingat bahwa perempuan adalah mahluk yang rasional dan bisa berpikir seperti laki-laki.
Feminisme liberal juga menciptakan dan mendukung perundanga- undangan yang menghapuskan halangan-halangan pada perempuan untuk maju. Perundang-undangan ini memperjuangkan kesempatan dan hak untuk perempuan, termasuk akses yang mudah dan setaranya upah yang diterima oleh perempuan dengan laki-laki sebab kerapkali gaji perempuan lebih rendah padahal apa yang telah dikerjakan adalah sama.
Berdasarkan pemaparan di atas, inti dari feminisme liberal antara lain (Suharto, 2006):
1)      Memfoukskan pada perlakuan yang sama terhadap wanita di luar, daripada di dalam, keluarga.
2)      Memperluas kesempatan dalam pendidikan dianggap sebagai cara paling efektif melakukan perubahan sosial.
3)      Pekerjaan-pekerjaan “wanita”, semisal perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan tidak terampil yang hanya mengandalkan tubuh, bukan pikiran rasional.
4)      Perjuangan harus menyentuh kesetaraan politik antara perempuan dan laki-laki melalui penguatan perwakilan perempuan di ruang-ruang publik. Para feminis liberal aktif memonitor pemilihan umum dan mendukung laki-laki yang memperjuangkan kepentingan perempuan.
5)      Berbeda dengan para pendahulunya, feminisme liberal saat ini cenderung lebih sejalan dengan model liberalisme kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung sistem kesejahteraan negara (welfare state) dan meritokrasi (menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu).
2.      Aliran Radikal
Menurut Arivia (2003: 100-102), inti gerakan feminis radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan lingkup publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada lingkup publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki.
Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Kaum feminis radikal meneriakkan slogan bahwa “yang pribadi adalah politis”, yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup publik.
Feminis radikal memberikan prioritas pada upaya untuk memenangkan isu-isu tentang kesehatan, misalnya perdebatan mengenai aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi yang aman. Mereka ingin menyadarkan perempuan bahwa

“perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri”, mereka memiliki hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi.
Perbedaan antara feminisme radikal libertarian dengan feminisme radikal kultural mengungkapkan adanya perbedaan sudut pandang yang tajam antara keduanya mengenai reproduksi. Dimana pertentangannya memperdebatkan apakah reproduksi merupakan sumber “penindasan perempuan atau “kekuatan perempuan” (Arivia, 2003:109). Meskipun demikian, terdapat satu hal yang mengikat ide radikal feminisme, yaitu pada pemahaman dasar bahwa sistem gender adalah basis dari penindasan perempuan. Feminis mengangkat isu-isu tentang seksisme, patriarkhi, hak-hak reproduksi, kekuatan hubungan laki-laki dan perempuan, dikotomi antara ranah privat dan ranah publik.  Lebih lanjut, Arivia (2003:152) menyatakan bahwa terdapat berbagai kritik terhadap feminisme radikal bahwa ide telah terperangkap pada anggapan bahwa pada dasarnya perempuan lebih baik daripada laki-laki, dan bahwa ideologi juga tereduksi menjadi dikotomi antara laki-laki dan perempuan.
Contoh kasus:
My body, my choice, my pleasure”, demikian bunyi stiker yang cukup profokatif ini terbaca jelas di belakang sebuah mobil yang sedang melintas di kawasan Lenteng Agung. Kebetulan saat itu saya dalam perjalanan mengisi seminar di UIN Ciputat tentang kesetaraan gender.
Pesan dalam stiker itu mengingatkan saya pada sebuah aksi demonstran menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU AP) yang mengusung poster-poster bertuliskan: “My body, my rights, tolak RUU APP!!”, “RUU APP: Phobia terhadap tubuh perempuan”, “Seksualitas bukan ukuran moralitas”, dsb.
Mungkin pembuat stiker itu menganggap bahwa agama dan negara yang dikuasai laki-laki adalah bahaya laten yang perlu terus diwaspadai sehingga kewaspadaan terhadap segala yang mengancam tubuh perempuan harus selalu dihidupkan (Shalahuddin, 2012).
3.      Feminisme Marxis Dan Sosialis
Meskipun terdapat sejumlah persamaan antara feminisme Marxis dan sosialis, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang tegas. Feminis sosialis menekankan bahwa penindasan gender disamping penindasan kelas

adalah merupakan sumber penindasan perempuan. Sebaliknya, feminis Marxis berargumentasi bahwa sistem kelas bertanggungjawab terhadap diskriminasi fungsi dan status.
Feminis Marxis percaya bahwa perempuan borjuis tidak mengalami penindasan seperti yang dialami perempuan proletar. Penindasan perempuan juga terlihat melalui produk-produk politik, struktur sosiologis dan ekonomis yang secara erat bergandengan tangan dengan sistem kapitalisme. Seperti halnya Marxisme, feminis Marxis memperdebatkan bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran diri. Perempuan tidak dapat mengembangkan dirinya apabila secara sosial dan ekonomi tergantung pada laki-laki. Untuk mengerti tentang penindasan perempuan, relasi antara status kerja perempuan dan citra diri mereka dianalisa.
Feminis Marxis ataupun sosialis mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi, hak milik properti, kehidupan keluarga dan domestik di bawah sistem kapitalisme dan kampanye tentang pemberian upah bagi pekerjaan-pekerjaan domestik. Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi kekeluargaan yang semata-mata eksploitasi kapitalisme, dimana perempuan memberikan tenaganya secara gratis. Feminis Marxis dan sosialis mengabaikan unsur-unsur cinta, rasa aman dan rasa nyaman, yang padahal juga berperan penting dalam pembentukan sebuah keluarga. Ideologi ini hanya menekankan fokus pada eksploitasi dalam kapitalisme dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender, justru berkonsentrasi pada analisis kelas (Nope, 2005:152).  Menurut Rosemary Hennesy dan Chrys Ingraham di tahun 1997 (dalam Apriani, 2013), feminisme Marxis dan sosialis melihat budaya sebagai suatu arena produksi sosial, arena dimana feminis berjuang daripada melihat budaya sebagai suatu kehidupan sosial secara keseluruhan.
Contoh kasus:
Di Inggris, Kelompok Kanan terbentuk kuat di kalangan perempuan pekerja. Mereka melaksanakan pemogokan untuk menuntut persamaan upah. Sementara itu kelompok kiri sangat  dipengaruhi oleh paham Sosialis Marxisme (Thornham, 2006). Namun aliran kanan dan kiri di Inggris bersatu d tahun 1970 dan menyerukan feminisme. Secara kompak mereka menuntut persamaan upah, persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tempat penitipan anak 24 jam, alat kontrasepsi gratis, dan aborsi sesuai kebutuhan.

Inti ajaran feminis sosialis (Saulnier dalam Suharto, 2006). adalah:
1)      Wanita tidak dimasukkan dalam analisis kelas, karena pandangan bahwa wanita tidak memiliki hubungan khusus dengan alat-alat produksi. Karenanya, perubahan-perubahan alat-alat produksi merupakan ‘necessary condition’ meskipun bukan ‘sufficient condition’, dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi penindasan terhadap wanita.
2)      Menganjurkan solusi untuk membayar wanita atas pekerjaannya yang ia lakukan di rumah. Status sebagai ibu rumah tangga dan pekerjaannya sangat penting bagi berfungsinya sistem kapitalis. Logikanya: ‘capitalism depends on the housewife’s free labor to maintain its workers; if the housewife refused to continue to work without pay, capitalism could not function.
3)      Kapitalisme memperkuat seksisme, karena memisahkan antara pekerjaan bergaji dengan pekerjaan rumah tangga (domestic work) dan mendesak agar wanita melakukan pekerjaan domestik. Akses laki-laki terhadap waktu luang, pelayanan-pelayanan personal, dan kemewah-mewahan telah mengangkat standar hidupnya melebihi wanita; karenanya adalah laki-laki sebagai anggota sistem patriarkal, bukan hanya cara-cara ekonomi kapitalis, yang diuntungkan oleh tenaga kerja wanita.
4.      Feminisme Eksistensialisme
Simone de Beauvoir (dalam Arivia, 2003 : 122-123) menyatakan bahwa dalam feminisme eksistensialisme penindasan perempuan diawali dengan beban reproduksi yang herus ditanggung oleh tubuh perempuan. Dimana terdapat berbagai perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan dituntut untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian menjadi “yang lain” karena ia adalah makhluk yang seharusnya di bawah perlindungan laki-laki, bagian dari laki-laki karena diciptakan dari laki-laki. Dengan demikian, perempuan didefinisikan dari sudut pandang laki-laki, sehingga laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objeknya atau “yang lain”.
Istilah “Diri” (The Self) dan Liyan (The Other) mulai dipakai oleh pergerakan feminisme eksistensialis. Dalam bahasa eksistensialis, laki-laki dinamai sang “Diri”, sedangkan perempuan sebagai Liyan (The other). Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis berusaha mencari jawaban mengapa laki-laki sampai dinamai “Diri” dan perempuan “Liyan”. Ia berspekulasi bahwa dengan memandang dirinya sebagai subjek yang mampu mempertaruhkan nyawanya dalam perempuan, laki-laki memandang perempuan sebagai objek, yang hanya mampu memberi kehidupan (baca: anak). “Diri” dan “Liyan” ini juga didukung oleh pendidikan, institusi, keluarga, dan masyarakat yang semuanya menganut pola pikir patriarki. Seorang perempuan pada akhirnya tidak dapat keluar dari permasalahan dalam dirinya, karena pola pikir patriarkis ini mengekangnya untuk menjadi berbeda.
Contoh kasus:
Pada masa setelah Perang Dunia II, impian para perempuan bukan mengejar karier dan pendidikan, tetapi menikah, mempunyai anak yang banyak dan tinggal di suburban dengan rumah yang indah. Seperti yang dituliskan oleh Betty Friedan dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystique. Impian yang disamaratakan untuk seluruh perempuan sebenarnya adalah bentuk pengekangan terhadap eksistensi perempuan, karena mereka hanya dijadikan objek. Teori Beauvoir dan Betty Friedan saling berhubungan dan sama-sama menekankan kepada perempuan bahwa kaum patriarkat menginternalisasi perempuan dari diri mereka sendiri. Akibatnya banyak perempuan yang termakan oleh konstruksi yang dibangun berdasarkan pemikiran laki-laki (Dewi, 2009).
5.      Feminisme Psikoanalitis
Pendekatan feminisme psikoanalisis merupakan pendekatan yang berdasar pada teori psikoanalisis Freud. Feminis psikoanalisis percaya bahwa ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan berakar dari rangkaian pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga dewasa yang mengakibatkan perbedaan cara pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas (Tong, 2006: 190).
Pada tahap Oedipal, anak laki-laki sadar jika perbedaan fisik dengan ibunya merupakan masalah dan kekuasaan harus diperoleh melalui identifikasi dirinya dengan laki-laki, ayahnya. Sehingga dia harus melepaskan diri dari keterikatan terhadap ibunya. Sedangkan hubungan pra-Oedipal bayi perempuan dengan ibunya merupakan “simbiosis yang diperpanjang” dan “over identifikasi narsisistis” karena rasa gender dan rasa diri bayi perempuan bertautan dengan rasa gender dan rasa diri ibunya. Selama tahapan Oedipal, simbiosis ibu dengan anak perempuan melemah dan digantikan dengan hasrat anak pada sesuatu yang disimbolkan oleh ayahnya yaitu otonomi dan kemandirian. Chodorow berpendapat bahwa pengalihan objek cinta awal anak perempuan dari objek perempuan, ibunya kepada objek laki-laki, ayahnya tidak pernah benar-benar selesai sehingga dia cenderung menemukan hubungan emosional yang paling kuat bersama perempuan lain dan berakibat terjadinya persahabatan sesama perempuan dan hubungan lesbian.
Menurut Freud seperti dikutip Tong, anak-anak mengalami tahapan psikoseksual yang sangat jelas. Tahapan yang dialami anak-anak tersebut antara lain;
1)      Tahap oral, yaitu ketika bayi menemukan kenikmatan saat mengisap payudara ibunya dan jarinya.
2)      Tahap anal, yakni ketika anak berusia dua sampai tiga tahun menyukai sensasi saat pengendalian pengeluaran kotorannya.
3)      Thap falik, yaitu ketika anak berusia tiga sampai empat tahun menemukan kenikmatan pada genitalnya.
4)      Tahap laten ketika anak berusia enam tahun sampai pubertas.
5)      Tahapan genital dimulai saat remaja dengan ditandai kebangkitan dorongan seksualnya. Jika normal, dorongan itu akan diarahkan menuju anggota jenis kelamin yang berbeda dan menjauh dari stimulasi otoerotis dan homoerotis (Tong dalam Wardani, 2009).
Berdasarkan tahapan seksualitas di atas, ketidaksetaran gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat berakar dari rangkaian pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga dewasa yang mengakibatkan perbedaan cara
pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas.
6.      Feminisme Postmodern
        Feminism postmodern berusaha menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan pemikiran falogosentris (phallogocentric), setiap gagasan mengacu pada kata (logos) yang style-nya adalah laki-laki. Sehingga dapat dijelaskan bahwa feminism postmodern melihat dengan curiga mengenai pemikiran feminis yang berusaha menjelaskan suatu hal mengenai penyebab opresi terhadap perempuan dan untuk mencapai kebebasan (dalam Azhar, 2012).
Secara mudah Feminism Postmodern merupakan sebuah kritikan kepada cara berfikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki. Feminism Postmodern berusaha membongkar narasi-narasi besar yang ada. Sehingga dapat dijelaskan bahwa Feminisme Postmodern juga berusaha melawan peraturan-peraturan yang sudah langgeng di Masyarakat. Postmodernism menolak batasan-batasan antara seni tinggi dan seni rendah, menolak pembatasan genre dan menawarkan keberanian dalam mempermainkan makna. Seni postmodern dan juga pemikiran postmodern menawarkan refleksifitas dan kesadaran diri, fragmentasi dan diskontinuitas (terutama dalam struktur cerita), ambiguitas, simultansi dan penekanan pada subyek yang distruktur ulang.
7.      Ekofeminisme
Kajian feminisme dan gender mencakup aspek yang sangat luas mengenai ketimpangan gender dan gerakan feminisme dalam berbagai bidang. Salah satu bidang feminisme adalah lingkungan hidup di mana salah satu pemikirnya adalah Vandana Shiva dari India yang sering disebut dengan kajian ekofeminsime.

Ekofeminisme ini menghubungkan antara feminism
e dan ekologi yang berarti didalamnya tercakup aspek Politik, Demokrasi, Gerakan Sosial, Lingkungan Hidup, Ketimpangan Gender dan tentunya Hak Asasi Manusia.
Dalam rangka usaha memberikan kesetaraan gender para aktivis dalam kerangka gerakan sosial mereka memiliki berbagai macam strategi. Menurut Vandana Shiva dalam rangka kesetaraan gender dengan memperjuangkan lingkungan adalah dengan cara pengetahuan. Menurutnya, kekuatan yang paling besar adalah pengetahuan, maka dari itu, ia aktif menuliskan pemikirannya dalam rangka perjuangan ekofeminsime ini. Selain itu terdapat juga melalui gerakan-gerakan sosial seperti gerakan memeluk pohon yang terinspirasi gerakan mahatma Gandhi (Halim, 2012).
8.      Feminisme Lesbianisme
Esensi dari lesbianisme adalah politik, karena ideologi ini mengkritisi supremasi laki-laki melalui lembaga dan ideologi yang heteroseksual. Charlotte Bunch menyajikan perbedaan yang jelas antara lesbian dan perempuan murni, lesbianisme menekankan keterikatan perempuan terhadap perempuan, sementara heteroseksual menekankan keterikatan perempuan terhadap laki-laki (dalam Arivia, 2003).
Dalam heteroseksual, laki-laki menikmati hak-hak istimewa yang lebih tinggi. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai suatu bentuk properti laki-laki. Tubuhnya, pelayanannya, dan anak-anaknya menjadi milik laki-laki. Kenyataan ini memicu sejumlah perempuan untuk mendobrak sistem patriarkhi - konvensional dan mengembangkan suatu gaya hidup baru dengan karakter yang sarat budaya feminin, yaitu lesbianisme yang kontroversial.
Contoh Kasus (INSIST, 2012):
Pada 1972, Charlotte Bunch menulis artikel “Lesbians in Revolt” diharian feminis The Furies, yang terbit di Washington DC. Artikel itu kemudian dibukukan oleh Diana Press pada tahun 1975 dengan tema: Lesbianism and the Women’s Movement. Menurut Charlotte Bunch, lesbianisme lebih dari sekedar pilihan dari sebuah orientasi seksual. Ia adalah ekspresi melawan ketidakadilan gender.
Bagi gerakan feminisme, lesbian mempunyai arti politis, yaitu:
1)      Sebagai landasan untuk membebaskan perempuan (liberation of women);
2)      Wujud pemberontakan terhadap otoritas laki-laki yang selalu mengatur perempuan bagaimana seharusnya berperangai, merasakan, melihat dan hidup di dunianya;
3)      Wujud kecintaan perempuan terhadap dirinya sendiri, karena dalam budaya Barat khususnya, mereka sering dinomorduakan. Selanjutnya,
4)      Lesbianisme juga merupakan simbol penolakan dominasi seksual dan politik laki-laki. Dengan lesbianisme, perempuan menantang dunia laki-laki, organisasi sosialnya, ideologinya dan anggapannya tentang perempuan sebagai makhluk lemah. Tindak lesbian bukan sebatas pilihan seksual, tetapi merupakan pilihan politik. Sebab hubungan laki-laki dan perempuan pada intinya adalah hubungan politis yang melibatkan kekuasaan dan dominasi.
5)      Lesbianisme mengutamakan perempuan di saat dunia menyatakan supremasi laki-laki.
6)      Sebagai usaha untuk menghancurkan sistem yang seksis, rasis, kapitalis dan imperialis
Menurut kaum feminis-lesbian, imperialisme yang hakiki adalah penindasan laki-laki terhadap perempuan; laki-laki mengklaim tubuh dan pelayanan perempuan sebagai propertinya. Di samping itu, lesbianisme dimaknai sebagai bukti solidaritas perempuan untuk sesamanya, baik dalam hal perasaan, fisik, politik maupun ekonomi. Lesbianisme bukan saja sebagai jalan alternatif terhadap penindasan yang terjadi dalam relasi laki-laki dan perempuan, tetapi lebih karena ungkapan kecintaan terhadap sesama perempuan. Jika perempuan menolak lesbianisme, berarti mereka menerima statusnya sebagai kelas dua.