Identitas GENDER merujuk pada pengertian
dan interpretasi yang kita miliki yang berhubungan dengan gambaran pribadi dan
gambaran lain yang diharapkan dari seorang laki-laki dan perempuan (Ting–Toomey). Budaya
memiliki peranan besar dalam menentukan identitas gender seorang individu.
Budaya berpengaruh pada apa yang membentuk keindahan gender dan bagaimana hal
itu ditampilkan diantara budaya.
Gender adalah konstruksi sosial yang
menjelaskan tentang peran manusia berdasarkan jenis kelamin. Sebab itu, masalah
gender lahir dan dipertahankan oleh masyarakat. Masyarakat umumnya didominasi
oleh peran laki-laki (patriarki). Laki-laki memiliki peran publik (bekerja,
berorganisasi, berpolitik), sementara perempuan memiliki peran privat (mengurus
anak, mencuci, melahirkan, memasak). Ini merupakan konstruksi gender yang
mainstream.
Aliran-Aliran Feminisme
Hak-hak perempuan yang terabaikan
tersebut seringkali berujung pada sebuah diskriminasi, eksploitasi, kekerasan,
ketidakadilan, dan lain-lain yang mana kaum feminis menganggapnya sebagai
sebuah penindasan yang dialami perempuan. Penindasan terhadap perempuan berlangsung di hampir
semua negara dan golongan agama. Di mana penindasan yang berlangsung di hampir
semua negara tersebut telah berhasil dibongkar oleh para feminis di negaranya masing-masing,
dan terus berupaya membongkar pengalaman ketertindasan yang dialami oleh kaum
perempuan. Tujuan utama dibongkarnya
ketertindasan perempuan tersebut adalah untuk memperjuangkan kemanusiaan kaum
perempuan agar bisa setara
dengan
kaum laki-laki khususnya dalam
memperoleh akses seperti yang telah dikemukakan di atas.
Inti dari ajaran
feminisme adalah agar perempuan memiliki kesetaraan seperti halnya kaum
laki-laki dalam memiliki akses seperti yang telah dikemukakan di atas. Akan
tetapi, dalam menuju kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, kaum
feminis terbagi-bagi
lagi ke dalam aliran-aliran sesuai dengan fokus utama ajaran mereka. Berikut
aliran-aliran dalam feminisme
1.
Aliran
Liberal
Feminisme liberal
adalah salah satu bentuk feminisme yang mengusung adanya persamaan hak untuk
perempuan dapat diterima melalui cara yang sah dan perbaikan perbaikan dalam
bidang sosial, dan berpandangan bahwa penerapan hak-hak wanita akan dapat
terealisasi jika perempuan disejajarkan dengan laki-laki. Hal tersebut seiring
dengan beberapa sumber teori mengenai feminisme liberal;
Apa yang disebut
sebagai feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang
memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa
kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia
pribadi dan umum. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan
bertindak secara rasional, terutama pada perempuan, akar ketertindasan dan
keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan
itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di
dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan setara dengan
laki-laki.
Feminisme
liberal berpandangan bahwa kaum perempuan harus mempersiapkan dirinya untuk
dapat mensejajarkan kedudukannya dengan laki-laki dengan cara mengambil
berbagai kesempatan yang menguntungkan serta mengenyam pendidikan, mengingat
bahwa perempuan adalah mahluk yang rasional dan bisa berpikir seperti
laki-laki.
Feminisme liberal juga
menciptakan dan mendukung perundanga- undangan yang menghapuskan
halangan-halangan pada perempuan untuk maju. Perundang-undangan ini
memperjuangkan kesempatan dan hak untuk perempuan, termasuk akses yang mudah
dan setaranya upah yang diterima oleh perempuan dengan laki-laki sebab
kerapkali gaji perempuan lebih rendah padahal apa yang telah dikerjakan adalah
sama.
Berdasarkan pemaparan di atas, inti dari feminisme liberal antara lain
(Suharto, 2006):
1)
Memfoukskan
pada perlakuan yang sama terhadap wanita di luar, daripada di dalam, keluarga.
2)
Memperluas kesempatan
dalam pendidikan dianggap sebagai cara paling efektif melakukan perubahan
sosial.
3)
Pekerjaan-pekerjaan
“wanita”, semisal perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai
pekerjaan tidak terampil yang hanya mengandalkan tubuh, bukan pikiran rasional.
4)
Perjuangan
harus menyentuh kesetaraan politik antara perempuan dan laki-laki melalui
penguatan perwakilan perempuan di ruang-ruang publik. Para feminis liberal
aktif memonitor pemilihan umum dan mendukung laki-laki yang memperjuangkan kepentingan
perempuan.
5)
Berbeda
dengan para pendahulunya, feminisme liberal saat ini cenderung lebih sejalan
dengan model liberalisme kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung sistem
kesejahteraan negara (welfare state) dan meritokrasi (menunjuk kepada bentuk sistem
politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang
berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan
tertentu).
2. Aliran
Radikal
Menurut Arivia (2003: 100-102), inti gerakan feminis
radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa
penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan
lingkup publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada
lingkup publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki.
Dalam konsep feminisme
radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini
terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas
seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Kaum feminis radikal meneriakkan
slogan bahwa “yang pribadi adalah politis”, yang berarti penindasan dalam
lingkup privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup publik.
Feminis radikal
memberikan prioritas pada upaya untuk memenangkan isu-isu tentang kesehatan,
misalnya perdebatan mengenai aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi yang aman.
Mereka ingin menyadarkan perempuan bahwa
“perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri”, mereka memiliki hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi.
“perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri”, mereka memiliki hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi.
Perbedaan antara
feminisme radikal libertarian dengan feminisme radikal kultural mengungkapkan
adanya perbedaan sudut pandang yang tajam antara keduanya mengenai reproduksi.
Dimana pertentangannya memperdebatkan apakah reproduksi merupakan sumber
“penindasan perempuan atau “kekuatan perempuan” (Arivia, 2003:109). Meskipun demikian, terdapat
satu hal yang mengikat ide radikal feminisme, yaitu pada pemahaman dasar bahwa
sistem gender adalah basis dari penindasan perempuan. Feminis mengangkat
isu-isu tentang seksisme, patriarkhi, hak-hak reproduksi, kekuatan hubungan
laki-laki dan perempuan, dikotomi antara ranah privat dan ranah publik. Lebih lanjut, Arivia (2003:152) menyatakan bahwa terdapat
berbagai kritik terhadap feminisme radikal bahwa ide telah terperangkap pada
anggapan bahwa pada dasarnya perempuan lebih baik daripada laki-laki, dan bahwa
ideologi juga tereduksi menjadi dikotomi antara laki-laki dan perempuan.
Contoh
kasus:
“My body, my choice, my pleasure”, demikian bunyi stiker yang cukup
profokatif ini terbaca jelas di belakang sebuah mobil yang sedang melintas di
kawasan Lenteng Agung. Kebetulan saat itu saya dalam perjalanan mengisi seminar
di UIN Ciputat tentang kesetaraan gender.
Pesan dalam stiker itu
mengingatkan saya pada sebuah aksi demonstran menolak Rancangan Undang-undang
Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU AP) yang mengusung poster-poster
bertuliskan: “My body, my rights, tolak RUU APP!!”, “RUU APP: Phobia terhadap
tubuh perempuan”, “Seksualitas bukan ukuran moralitas”, dsb.
Mungkin pembuat stiker itu
menganggap bahwa agama dan negara yang dikuasai laki-laki adalah bahaya laten
yang perlu terus diwaspadai sehingga kewaspadaan terhadap segala yang mengancam
tubuh perempuan harus selalu dihidupkan (Shalahuddin, 2012).
3. Feminisme Marxis Dan Sosialis
Meskipun terdapat sejumlah persamaan antara
feminisme Marxis dan sosialis, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan
yang tegas. Feminis sosialis menekankan bahwa penindasan gender disamping
penindasan kelas
adalah merupakan sumber penindasan perempuan. Sebaliknya, feminis Marxis berargumentasi bahwa sistem kelas bertanggungjawab terhadap diskriminasi fungsi dan status.
adalah merupakan sumber penindasan perempuan. Sebaliknya, feminis Marxis berargumentasi bahwa sistem kelas bertanggungjawab terhadap diskriminasi fungsi dan status.
Feminis Marxis percaya bahwa perempuan borjuis tidak
mengalami penindasan seperti yang dialami perempuan proletar. Penindasan perempuan
juga terlihat melalui produk-produk politik, struktur sosiologis dan ekonomis
yang secara erat bergandengan tangan dengan sistem kapitalisme. Seperti halnya Marxisme, feminis
Marxis memperdebatkan bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran diri. Perempuan
tidak dapat mengembangkan dirinya apabila secara sosial dan ekonomi tergantung
pada laki-laki. Untuk mengerti tentang penindasan perempuan, relasi antara
status kerja perempuan dan citra diri mereka dianalisa.
Feminis Marxis ataupun sosialis mencuatkan isu pada
kesenjangan ekonomi, hak milik properti, kehidupan keluarga dan domestik di
bawah sistem kapitalisme dan kampanye tentang pemberian upah bagi
pekerjaan-pekerjaan domestik. Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi
kekeluargaan yang semata-mata eksploitasi kapitalisme, dimana perempuan
memberikan tenaganya secara gratis. Feminis Marxis dan sosialis mengabaikan
unsur-unsur cinta, rasa aman dan rasa nyaman, yang padahal juga berperan
penting dalam pembentukan sebuah keluarga. Ideologi ini hanya menekankan fokus pada eksploitasi dalam kapitalisme
dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender, justru
berkonsentrasi pada analisis kelas (Nope, 2005:152). Menurut Rosemary
Hennesy dan Chrys Ingraham di
tahun 1997 (dalam Apriani, 2013), feminisme Marxis dan
sosialis melihat budaya sebagai suatu arena produksi sosial, arena dimana
feminis berjuang daripada melihat budaya sebagai suatu kehidupan sosial secara
keseluruhan.
Contoh kasus:
Di Inggris, Kelompok Kanan terbentuk kuat di kalangan perempuan
pekerja. Mereka melaksanakan pemogokan untuk menuntut persamaan upah. Sementara
itu kelompok kiri sangat dipengaruhi
oleh paham Sosialis Marxisme (Thornham, 2006). Namun aliran kanan dan kiri di
Inggris bersatu d tahun 1970 dan menyerukan feminisme. Secara kompak
mereka menuntut persamaan upah, persamaan pendidikan dan kesempatan kerja,
tempat penitipan anak 24 jam, alat kontrasepsi gratis, dan aborsi sesuai
kebutuhan.
Inti ajaran feminis sosialis (Saulnier dalam
Suharto, 2006). adalah:
1)
Wanita tidak dimasukkan dalam analisis kelas,
karena pandangan bahwa wanita tidak memiliki hubungan khusus dengan alat-alat
produksi. Karenanya, perubahan-perubahan alat-alat produksi merupakan ‘necessary condition’ meskipun bukan ‘sufficient condition’, dalam mengubah
faktor-faktor yang mempengaruhi penindasan terhadap wanita.
2)
Menganjurkan solusi untuk membayar wanita atas
pekerjaannya yang ia lakukan di rumah. Status sebagai ibu rumah tangga dan
pekerjaannya sangat penting bagi berfungsinya sistem kapitalis. Logikanya: ‘capitalism depends on the housewife’s free
labor to maintain its workers; if the housewife refused to continue to work
without pay, capitalism could not function.
3)
Kapitalisme memperkuat seksisme, karena
memisahkan antara pekerjaan bergaji dengan pekerjaan rumah tangga (domestic
work) dan mendesak agar wanita melakukan pekerjaan domestik. Akses laki-laki
terhadap waktu luang, pelayanan-pelayanan personal, dan kemewah-mewahan telah
mengangkat standar hidupnya melebihi wanita; karenanya adalah laki-laki sebagai
anggota sistem patriarkal, bukan hanya cara-cara ekonomi kapitalis, yang
diuntungkan oleh tenaga kerja wanita.
4. Feminisme Eksistensialisme
Simone de Beauvoir
(dalam Arivia, 2003 : 122-123) menyatakan bahwa dalam feminisme eksistensialisme
penindasan perempuan diawali dengan beban reproduksi yang herus ditanggung oleh
tubuh perempuan. Dimana terdapat berbagai perbedaan antara perempuan dan
laki-laki, sehingga perempuan dituntut untuk menjadi dirinya sendiri dan
kemudian menjadi “yang lain” karena ia adalah makhluk yang seharusnya di
bawah perlindungan laki-laki, bagian dari laki-laki karena diciptakan dari
laki-laki. Dengan demikian, perempuan didefinisikan dari sudut pandang
laki-laki, sehingga laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objeknya atau
“yang lain”.
Istilah “Diri” (The Self) dan Liyan (The
Other) mulai dipakai oleh pergerakan feminisme eksistensialis. Dalam bahasa
eksistensialis, laki-laki dinamai sang “Diri”, sedangkan perempuan sebagai
Liyan (The other). Simone de
Beauvoir, seorang feminis eksistensialis berusaha mencari jawaban mengapa
laki-laki sampai dinamai “Diri” dan perempuan “Liyan”. Ia berspekulasi bahwa
dengan memandang dirinya sebagai subjek yang mampu mempertaruhkan nyawanya
dalam perempuan, laki-laki memandang perempuan sebagai objek, yang hanya mampu
memberi kehidupan (baca: anak). “Diri” dan “Liyan” ini juga didukung oleh
pendidikan, institusi, keluarga, dan masyarakat yang semuanya menganut pola
pikir patriarki. Seorang perempuan pada akhirnya tidak dapat keluar dari
permasalahan dalam dirinya, karena pola pikir patriarkis ini mengekangnya untuk
menjadi berbeda.
Contoh kasus:
Pada masa setelah Perang Dunia II, impian para
perempuan bukan mengejar karier dan pendidikan, tetapi menikah, mempunyai anak
yang banyak dan tinggal di suburban dengan rumah yang indah. Seperti yang
dituliskan oleh Betty Friedan dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystique. Impian yang disamaratakan untuk seluruh
perempuan sebenarnya adalah bentuk pengekangan terhadap eksistensi perempuan,
karena mereka hanya dijadikan objek. Teori Beauvoir dan Betty Friedan saling
berhubungan dan sama-sama menekankan kepada perempuan bahwa kaum patriarkat
menginternalisasi perempuan dari diri mereka sendiri. Akibatnya banyak
perempuan yang termakan oleh konstruksi yang dibangun berdasarkan pemikiran
laki-laki (Dewi, 2009).
5. Feminisme Psikoanalitis
Pendekatan feminisme psikoanalisis
merupakan pendekatan yang berdasar pada teori psikoanalisis Freud. Feminis
psikoanalisis percaya bahwa ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan berakar dari rangkaian pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga
dewasa yang mengakibatkan perbedaan cara pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai
maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga
masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas (Tong,
2006: 190).
Pada tahap Oedipal,
anak laki-laki sadar jika perbedaan fisik dengan ibunya merupakan masalah dan
kekuasaan harus diperoleh melalui identifikasi dirinya dengan laki-laki,
ayahnya. Sehingga dia harus melepaskan diri dari keterikatan terhadap ibunya.
Sedangkan hubungan pra-Oedipal bayi perempuan dengan ibunya merupakan
“simbiosis yang diperpanjang” dan “over identifikasi narsisistis” karena rasa
gender dan rasa diri bayi perempuan bertautan dengan rasa gender dan rasa diri
ibunya. Selama tahapan Oedipal, simbiosis ibu dengan anak perempuan melemah dan
digantikan dengan hasrat anak pada sesuatu yang disimbolkan oleh ayahnya yaitu
otonomi dan kemandirian. Chodorow berpendapat bahwa pengalihan objek cinta awal
anak perempuan dari objek perempuan, ibunya kepada objek laki-laki, ayahnya
tidak pernah benar-benar selesai sehingga dia cenderung menemukan hubungan
emosional yang paling kuat bersama perempuan lain dan berakibat terjadinya
persahabatan sesama perempuan dan hubungan lesbian.
Menurut Freud seperti dikutip Tong, anak-anak
mengalami tahapan psikoseksual yang sangat jelas. Tahapan yang dialami
anak-anak tersebut antara lain;
1) Tahap oral, yaitu
ketika bayi menemukan kenikmatan saat mengisap payudara ibunya dan jarinya.
2) Tahap anal, yakni
ketika anak berusia dua sampai tiga tahun menyukai sensasi saat pengendalian
pengeluaran kotorannya.
3) Thap falik,
yaitu ketika anak berusia tiga sampai empat tahun menemukan kenikmatan pada
genitalnya.
4) Tahap laten ketika anak berusia enam tahun sampai pubertas.
5) Tahapan genital dimulai saat remaja dengan ditandai
kebangkitan dorongan seksualnya. Jika normal, dorongan itu akan diarahkan
menuju anggota jenis kelamin yang berbeda dan menjauh dari stimulasi otoerotis
dan homoerotis (Tong dalam Wardani, 2009).
Berdasarkan tahapan seksualitas di
atas, ketidaksetaran gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
berakar dari rangkaian pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga dewasa
yang mengakibatkan perbedaan cara
pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas.
pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas.
6.
Feminisme Postmodern
Feminism
postmodern berusaha menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan
pemikiran falogosentris (phallogocentric),
setiap gagasan mengacu pada kata (logos) yang style-nya adalah
laki-laki. Sehingga dapat dijelaskan bahwa feminism postmodern melihat dengan
curiga mengenai pemikiran feminis yang berusaha menjelaskan suatu hal mengenai
penyebab opresi terhadap perempuan dan untuk mencapai kebebasan (dalam Azhar, 2012).
Secara mudah
Feminism Postmodern merupakan sebuah kritikan kepada cara berfikir laki-laki
yang diproduksi melalui bahasa laki-laki. Feminism Postmodern berusaha
membongkar narasi-narasi besar yang ada. Sehingga dapat dijelaskan bahwa
Feminisme Postmodern juga berusaha melawan peraturan-peraturan yang sudah
langgeng di Masyarakat. Postmodernism menolak batasan-batasan antara seni
tinggi dan seni rendah, menolak pembatasan genre dan menawarkan keberanian
dalam mempermainkan makna. Seni postmodern dan juga pemikiran postmodern
menawarkan refleksifitas dan kesadaran diri, fragmentasi dan diskontinuitas
(terutama dalam struktur cerita), ambiguitas, simultansi dan penekanan pada
subyek yang distruktur ulang.
7.
Ekofeminisme
Kajian feminisme dan gender mencakup aspek yang
sangat luas mengenai ketimpangan gender dan gerakan feminisme dalam berbagai
bidang. Salah satu bidang feminisme
adalah lingkungan hidup di mana
salah satu pemikirnya adalah Vandana
Shiva
dari India yang
sering disebut dengan kajian ekofeminsime.
Ekofeminisme ini menghubungkan antara feminisme dan ekologi yang berarti didalamnya tercakup aspek Politik, Demokrasi, Gerakan Sosial, Lingkungan Hidup, Ketimpangan Gender dan tentunya Hak Asasi Manusia.
Ekofeminisme ini menghubungkan antara feminisme dan ekologi yang berarti didalamnya tercakup aspek Politik, Demokrasi, Gerakan Sosial, Lingkungan Hidup, Ketimpangan Gender dan tentunya Hak Asasi Manusia.
Dalam rangka usaha memberikan kesetaraan gender para aktivis dalam
kerangka gerakan sosial mereka memiliki berbagai macam strategi. Menurut Vandana Shiva dalam rangka kesetaraan
gender dengan memperjuangkan lingkungan adalah dengan cara pengetahuan. Menurutnya, kekuatan yang paling
besar adalah pengetahuan, maka dari itu, ia aktif menuliskan pemikirannya dalam rangka
perjuangan ekofeminsime ini. Selain itu terdapat juga melalui gerakan-gerakan
sosial seperti gerakan memeluk pohon yang terinspirasi gerakan mahatma Gandhi (Halim, 2012).
8. Feminisme
Lesbianisme
Esensi dari lesbianisme
adalah politik, karena ideologi ini mengkritisi supremasi laki-laki melalui
lembaga dan ideologi yang heteroseksual. Charlotte Bunch menyajikan perbedaan
yang jelas antara lesbian dan perempuan murni, lesbianisme menekankan
keterikatan perempuan terhadap perempuan, sementara heteroseksual menekankan
keterikatan perempuan terhadap laki-laki (dalam Arivia, 2003).
Dalam heteroseksual,
laki-laki menikmati hak-hak istimewa yang lebih tinggi. Sebaliknya perempuan
dianggap sebagai suatu bentuk properti laki-laki. Tubuhnya, pelayanannya, dan
anak-anaknya menjadi milik laki-laki. Kenyataan ini memicu sejumlah perempuan
untuk mendobrak sistem patriarkhi - konvensional dan mengembangkan suatu gaya
hidup baru dengan karakter yang sarat budaya feminin, yaitu lesbianisme yang
kontroversial.
Contoh Kasus
(INSIST, 2012):
Pada 1972, Charlotte Bunch menulis artikel “Lesbians in Revolt” diharian feminis The Furies, yang terbit di Washington
DC. Artikel itu kemudian dibukukan oleh Diana Press pada tahun 1975 dengan
tema: Lesbianism and the Women’s Movement. Menurut Charlotte
Bunch, lesbianisme lebih dari sekedar pilihan dari sebuah orientasi seksual. Ia
adalah ekspresi melawan ketidakadilan gender.
Bagi gerakan feminisme, lesbian mempunyai arti
politis, yaitu:
1) Sebagai landasan untuk
membebaskan perempuan (liberation of women);
2) Wujud pemberontakan
terhadap otoritas laki-laki yang selalu mengatur perempuan bagaimana seharusnya
berperangai, merasakan, melihat dan hidup di dunianya;
3) Wujud kecintaan perempuan
terhadap dirinya sendiri, karena dalam budaya Barat khususnya, mereka sering
dinomorduakan. Selanjutnya,
4) Lesbianisme juga merupakan
simbol penolakan dominasi seksual dan politik laki-laki. Dengan lesbianisme,
perempuan menantang dunia laki-laki, organisasi sosialnya, ideologinya dan
anggapannya tentang perempuan sebagai makhluk lemah. Tindak lesbian bukan
sebatas pilihan seksual, tetapi merupakan pilihan politik. Sebab hubungan
laki-laki dan perempuan pada intinya adalah hubungan politis yang melibatkan
kekuasaan dan dominasi.
5) Lesbianisme mengutamakan
perempuan di saat dunia menyatakan supremasi laki-laki.
6) Sebagai usaha untuk
menghancurkan sistem yang seksis, rasis, kapitalis dan imperialis
Menurut kaum feminis-lesbian, imperialisme yang
hakiki adalah penindasan laki-laki terhadap perempuan; laki-laki mengklaim
tubuh dan pelayanan perempuan sebagai propertinya. Di samping itu, lesbianisme
dimaknai sebagai bukti solidaritas perempuan untuk sesamanya, baik dalam hal
perasaan, fisik, politik maupun ekonomi. Lesbianisme bukan saja sebagai jalan
alternatif terhadap penindasan yang terjadi dalam relasi laki-laki dan perempuan,
tetapi lebih karena ungkapan kecintaan terhadap sesama perempuan. Jika
perempuan menolak lesbianisme, berarti mereka menerima statusnya sebagai kelas
dua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar