Rabu, 04 Maret 2015

Identitas Gender

Identitas GENDER merujuk pada pengertian dan interpretasi yang kita miliki yang berhubungan dengan gambaran pribadi dan gambaran lain yang diharapkan dari seorang laki-laki dan perempuan (Ting–Toomey). Budaya memiliki peranan besar dalam menentukan identitas gender seorang individu. Budaya berpengaruh pada apa yang membentuk keindahan gender dan bagaimana hal itu ditampilkan diantara budaya.
Gender adalah konstruksi sosial yang menjelaskan tentang peran manusia berdasarkan jenis kelamin. Sebab itu, masalah gender lahir dan dipertahankan oleh masyarakat. Masyarakat umumnya didominasi oleh peran laki-laki (patriarki). Laki-laki memiliki peran publik (bekerja, berorganisasi, berpolitik), sementara perempuan memiliki peran privat (mengurus anak, mencuci, melahirkan, memasak). Ini merupakan konstruksi gender yang mainstream.
Aliran-Aliran Feminisme
Hak-hak perempuan yang terabaikan tersebut seringkali berujung pada sebuah diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, ketidakadilan, dan lain-lain yang mana kaum feminis menganggapnya sebagai sebuah penindasan yang dialami perempuan. Penindasan terhadap perempuan berlangsung di hampir semua negara dan golongan agama. Di mana penindasan yang berlangsung di hampir semua negara tersebut telah berhasil dibongkar oleh para feminis di negaranya masing-masing, dan terus berupaya membongkar pengalaman ketertindasan yang dialami oleh kaum perempuan. Tujuan utama dibongkarnya ketertindasan perempuan tersebut adalah untuk memperjuangkan kemanusiaan kaum perempuan agar bisa setara dengan kaum laki-laki khususnya dalam memperoleh akses seperti yang telah dikemukakan di atas.
Inti dari ajaran feminisme adalah agar perempuan memiliki kesetaraan seperti halnya kaum laki-laki dalam memiliki akses seperti yang telah dikemukakan di atas. Akan tetapi, dalam menuju kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, kaum feminis terbagi-bagi lagi ke dalam aliran-aliran sesuai dengan fokus utama ajaran mereka. Berikut aliran-aliran dalam feminisme
1.      Aliran Liberal
Feminisme liberal adalah salah satu bentuk feminisme yang mengusung adanya persamaan hak untuk perempuan dapat diterima melalui cara yang sah dan perbaikan perbaikan dalam bidang sosial, dan berpandangan bahwa penerapan hak-hak wanita akan dapat terealisasi jika perempuan disejajarkan dengan laki-laki. Hal tersebut seiring dengan beberapa sumber teori mengenai feminisme liberal;
Apa yang disebut sebagai feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia pribadi dan umum. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, terutama pada perempuan, akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan setara dengan laki-laki.
Feminisme liberal berpandangan bahwa kaum perempuan harus mempersiapkan dirinya untuk dapat mensejajarkan kedudukannya dengan laki-laki dengan cara mengambil berbagai kesempatan yang menguntungkan serta mengenyam pendidikan, mengingat bahwa perempuan adalah mahluk yang rasional dan bisa berpikir seperti laki-laki.
Feminisme liberal juga menciptakan dan mendukung perundanga- undangan yang menghapuskan halangan-halangan pada perempuan untuk maju. Perundang-undangan ini memperjuangkan kesempatan dan hak untuk perempuan, termasuk akses yang mudah dan setaranya upah yang diterima oleh perempuan dengan laki-laki sebab kerapkali gaji perempuan lebih rendah padahal apa yang telah dikerjakan adalah sama.
Berdasarkan pemaparan di atas, inti dari feminisme liberal antara lain (Suharto, 2006):
1)      Memfoukskan pada perlakuan yang sama terhadap wanita di luar, daripada di dalam, keluarga.
2)      Memperluas kesempatan dalam pendidikan dianggap sebagai cara paling efektif melakukan perubahan sosial.
3)      Pekerjaan-pekerjaan “wanita”, semisal perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan tidak terampil yang hanya mengandalkan tubuh, bukan pikiran rasional.
4)      Perjuangan harus menyentuh kesetaraan politik antara perempuan dan laki-laki melalui penguatan perwakilan perempuan di ruang-ruang publik. Para feminis liberal aktif memonitor pemilihan umum dan mendukung laki-laki yang memperjuangkan kepentingan perempuan.
5)      Berbeda dengan para pendahulunya, feminisme liberal saat ini cenderung lebih sejalan dengan model liberalisme kesejahteraan atau egalitarian yang mendukung sistem kesejahteraan negara (welfare state) dan meritokrasi (menunjuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu).
2.      Aliran Radikal
Menurut Arivia (2003: 100-102), inti gerakan feminis radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan lingkup publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada lingkup publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki.
Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Kaum feminis radikal meneriakkan slogan bahwa “yang pribadi adalah politis”, yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup publik.
Feminis radikal memberikan prioritas pada upaya untuk memenangkan isu-isu tentang kesehatan, misalnya perdebatan mengenai aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi yang aman. Mereka ingin menyadarkan perempuan bahwa

“perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri”, mereka memiliki hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi.
Perbedaan antara feminisme radikal libertarian dengan feminisme radikal kultural mengungkapkan adanya perbedaan sudut pandang yang tajam antara keduanya mengenai reproduksi. Dimana pertentangannya memperdebatkan apakah reproduksi merupakan sumber “penindasan perempuan atau “kekuatan perempuan” (Arivia, 2003:109). Meskipun demikian, terdapat satu hal yang mengikat ide radikal feminisme, yaitu pada pemahaman dasar bahwa sistem gender adalah basis dari penindasan perempuan. Feminis mengangkat isu-isu tentang seksisme, patriarkhi, hak-hak reproduksi, kekuatan hubungan laki-laki dan perempuan, dikotomi antara ranah privat dan ranah publik.  Lebih lanjut, Arivia (2003:152) menyatakan bahwa terdapat berbagai kritik terhadap feminisme radikal bahwa ide telah terperangkap pada anggapan bahwa pada dasarnya perempuan lebih baik daripada laki-laki, dan bahwa ideologi juga tereduksi menjadi dikotomi antara laki-laki dan perempuan.
Contoh kasus:
My body, my choice, my pleasure”, demikian bunyi stiker yang cukup profokatif ini terbaca jelas di belakang sebuah mobil yang sedang melintas di kawasan Lenteng Agung. Kebetulan saat itu saya dalam perjalanan mengisi seminar di UIN Ciputat tentang kesetaraan gender.
Pesan dalam stiker itu mengingatkan saya pada sebuah aksi demonstran menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU AP) yang mengusung poster-poster bertuliskan: “My body, my rights, tolak RUU APP!!”, “RUU APP: Phobia terhadap tubuh perempuan”, “Seksualitas bukan ukuran moralitas”, dsb.
Mungkin pembuat stiker itu menganggap bahwa agama dan negara yang dikuasai laki-laki adalah bahaya laten yang perlu terus diwaspadai sehingga kewaspadaan terhadap segala yang mengancam tubuh perempuan harus selalu dihidupkan (Shalahuddin, 2012).
3.      Feminisme Marxis Dan Sosialis
Meskipun terdapat sejumlah persamaan antara feminisme Marxis dan sosialis, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang tegas. Feminis sosialis menekankan bahwa penindasan gender disamping penindasan kelas

adalah merupakan sumber penindasan perempuan. Sebaliknya, feminis Marxis berargumentasi bahwa sistem kelas bertanggungjawab terhadap diskriminasi fungsi dan status.
Feminis Marxis percaya bahwa perempuan borjuis tidak mengalami penindasan seperti yang dialami perempuan proletar. Penindasan perempuan juga terlihat melalui produk-produk politik, struktur sosiologis dan ekonomis yang secara erat bergandengan tangan dengan sistem kapitalisme. Seperti halnya Marxisme, feminis Marxis memperdebatkan bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran diri. Perempuan tidak dapat mengembangkan dirinya apabila secara sosial dan ekonomi tergantung pada laki-laki. Untuk mengerti tentang penindasan perempuan, relasi antara status kerja perempuan dan citra diri mereka dianalisa.
Feminis Marxis ataupun sosialis mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi, hak milik properti, kehidupan keluarga dan domestik di bawah sistem kapitalisme dan kampanye tentang pemberian upah bagi pekerjaan-pekerjaan domestik. Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi kekeluargaan yang semata-mata eksploitasi kapitalisme, dimana perempuan memberikan tenaganya secara gratis. Feminis Marxis dan sosialis mengabaikan unsur-unsur cinta, rasa aman dan rasa nyaman, yang padahal juga berperan penting dalam pembentukan sebuah keluarga. Ideologi ini hanya menekankan fokus pada eksploitasi dalam kapitalisme dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender, justru berkonsentrasi pada analisis kelas (Nope, 2005:152).  Menurut Rosemary Hennesy dan Chrys Ingraham di tahun 1997 (dalam Apriani, 2013), feminisme Marxis dan sosialis melihat budaya sebagai suatu arena produksi sosial, arena dimana feminis berjuang daripada melihat budaya sebagai suatu kehidupan sosial secara keseluruhan.
Contoh kasus:
Di Inggris, Kelompok Kanan terbentuk kuat di kalangan perempuan pekerja. Mereka melaksanakan pemogokan untuk menuntut persamaan upah. Sementara itu kelompok kiri sangat  dipengaruhi oleh paham Sosialis Marxisme (Thornham, 2006). Namun aliran kanan dan kiri di Inggris bersatu d tahun 1970 dan menyerukan feminisme. Secara kompak mereka menuntut persamaan upah, persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tempat penitipan anak 24 jam, alat kontrasepsi gratis, dan aborsi sesuai kebutuhan.

Inti ajaran feminis sosialis (Saulnier dalam Suharto, 2006). adalah:
1)      Wanita tidak dimasukkan dalam analisis kelas, karena pandangan bahwa wanita tidak memiliki hubungan khusus dengan alat-alat produksi. Karenanya, perubahan-perubahan alat-alat produksi merupakan ‘necessary condition’ meskipun bukan ‘sufficient condition’, dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi penindasan terhadap wanita.
2)      Menganjurkan solusi untuk membayar wanita atas pekerjaannya yang ia lakukan di rumah. Status sebagai ibu rumah tangga dan pekerjaannya sangat penting bagi berfungsinya sistem kapitalis. Logikanya: ‘capitalism depends on the housewife’s free labor to maintain its workers; if the housewife refused to continue to work without pay, capitalism could not function.
3)      Kapitalisme memperkuat seksisme, karena memisahkan antara pekerjaan bergaji dengan pekerjaan rumah tangga (domestic work) dan mendesak agar wanita melakukan pekerjaan domestik. Akses laki-laki terhadap waktu luang, pelayanan-pelayanan personal, dan kemewah-mewahan telah mengangkat standar hidupnya melebihi wanita; karenanya adalah laki-laki sebagai anggota sistem patriarkal, bukan hanya cara-cara ekonomi kapitalis, yang diuntungkan oleh tenaga kerja wanita.
4.      Feminisme Eksistensialisme
Simone de Beauvoir (dalam Arivia, 2003 : 122-123) menyatakan bahwa dalam feminisme eksistensialisme penindasan perempuan diawali dengan beban reproduksi yang herus ditanggung oleh tubuh perempuan. Dimana terdapat berbagai perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan dituntut untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian menjadi “yang lain” karena ia adalah makhluk yang seharusnya di bawah perlindungan laki-laki, bagian dari laki-laki karena diciptakan dari laki-laki. Dengan demikian, perempuan didefinisikan dari sudut pandang laki-laki, sehingga laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objeknya atau “yang lain”.
Istilah “Diri” (The Self) dan Liyan (The Other) mulai dipakai oleh pergerakan feminisme eksistensialis. Dalam bahasa eksistensialis, laki-laki dinamai sang “Diri”, sedangkan perempuan sebagai Liyan (The other). Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis berusaha mencari jawaban mengapa laki-laki sampai dinamai “Diri” dan perempuan “Liyan”. Ia berspekulasi bahwa dengan memandang dirinya sebagai subjek yang mampu mempertaruhkan nyawanya dalam perempuan, laki-laki memandang perempuan sebagai objek, yang hanya mampu memberi kehidupan (baca: anak). “Diri” dan “Liyan” ini juga didukung oleh pendidikan, institusi, keluarga, dan masyarakat yang semuanya menganut pola pikir patriarki. Seorang perempuan pada akhirnya tidak dapat keluar dari permasalahan dalam dirinya, karena pola pikir patriarkis ini mengekangnya untuk menjadi berbeda.
Contoh kasus:
Pada masa setelah Perang Dunia II, impian para perempuan bukan mengejar karier dan pendidikan, tetapi menikah, mempunyai anak yang banyak dan tinggal di suburban dengan rumah yang indah. Seperti yang dituliskan oleh Betty Friedan dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystique. Impian yang disamaratakan untuk seluruh perempuan sebenarnya adalah bentuk pengekangan terhadap eksistensi perempuan, karena mereka hanya dijadikan objek. Teori Beauvoir dan Betty Friedan saling berhubungan dan sama-sama menekankan kepada perempuan bahwa kaum patriarkat menginternalisasi perempuan dari diri mereka sendiri. Akibatnya banyak perempuan yang termakan oleh konstruksi yang dibangun berdasarkan pemikiran laki-laki (Dewi, 2009).
5.      Feminisme Psikoanalitis
Pendekatan feminisme psikoanalisis merupakan pendekatan yang berdasar pada teori psikoanalisis Freud. Feminis psikoanalisis percaya bahwa ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan berakar dari rangkaian pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga dewasa yang mengakibatkan perbedaan cara pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas (Tong, 2006: 190).
Pada tahap Oedipal, anak laki-laki sadar jika perbedaan fisik dengan ibunya merupakan masalah dan kekuasaan harus diperoleh melalui identifikasi dirinya dengan laki-laki, ayahnya. Sehingga dia harus melepaskan diri dari keterikatan terhadap ibunya. Sedangkan hubungan pra-Oedipal bayi perempuan dengan ibunya merupakan “simbiosis yang diperpanjang” dan “over identifikasi narsisistis” karena rasa gender dan rasa diri bayi perempuan bertautan dengan rasa gender dan rasa diri ibunya. Selama tahapan Oedipal, simbiosis ibu dengan anak perempuan melemah dan digantikan dengan hasrat anak pada sesuatu yang disimbolkan oleh ayahnya yaitu otonomi dan kemandirian. Chodorow berpendapat bahwa pengalihan objek cinta awal anak perempuan dari objek perempuan, ibunya kepada objek laki-laki, ayahnya tidak pernah benar-benar selesai sehingga dia cenderung menemukan hubungan emosional yang paling kuat bersama perempuan lain dan berakibat terjadinya persahabatan sesama perempuan dan hubungan lesbian.
Menurut Freud seperti dikutip Tong, anak-anak mengalami tahapan psikoseksual yang sangat jelas. Tahapan yang dialami anak-anak tersebut antara lain;
1)      Tahap oral, yaitu ketika bayi menemukan kenikmatan saat mengisap payudara ibunya dan jarinya.
2)      Tahap anal, yakni ketika anak berusia dua sampai tiga tahun menyukai sensasi saat pengendalian pengeluaran kotorannya.
3)      Thap falik, yaitu ketika anak berusia tiga sampai empat tahun menemukan kenikmatan pada genitalnya.
4)      Tahap laten ketika anak berusia enam tahun sampai pubertas.
5)      Tahapan genital dimulai saat remaja dengan ditandai kebangkitan dorongan seksualnya. Jika normal, dorongan itu akan diarahkan menuju anggota jenis kelamin yang berbeda dan menjauh dari stimulasi otoerotis dan homoerotis (Tong dalam Wardani, 2009).
Berdasarkan tahapan seksualitas di atas, ketidaksetaran gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat berakar dari rangkaian pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga dewasa yang mengakibatkan perbedaan cara
pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas.
6.      Feminisme Postmodern
        Feminism postmodern berusaha menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan pemikiran falogosentris (phallogocentric), setiap gagasan mengacu pada kata (logos) yang style-nya adalah laki-laki. Sehingga dapat dijelaskan bahwa feminism postmodern melihat dengan curiga mengenai pemikiran feminis yang berusaha menjelaskan suatu hal mengenai penyebab opresi terhadap perempuan dan untuk mencapai kebebasan (dalam Azhar, 2012).
Secara mudah Feminism Postmodern merupakan sebuah kritikan kepada cara berfikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki. Feminism Postmodern berusaha membongkar narasi-narasi besar yang ada. Sehingga dapat dijelaskan bahwa Feminisme Postmodern juga berusaha melawan peraturan-peraturan yang sudah langgeng di Masyarakat. Postmodernism menolak batasan-batasan antara seni tinggi dan seni rendah, menolak pembatasan genre dan menawarkan keberanian dalam mempermainkan makna. Seni postmodern dan juga pemikiran postmodern menawarkan refleksifitas dan kesadaran diri, fragmentasi dan diskontinuitas (terutama dalam struktur cerita), ambiguitas, simultansi dan penekanan pada subyek yang distruktur ulang.
7.      Ekofeminisme
Kajian feminisme dan gender mencakup aspek yang sangat luas mengenai ketimpangan gender dan gerakan feminisme dalam berbagai bidang. Salah satu bidang feminisme adalah lingkungan hidup di mana salah satu pemikirnya adalah Vandana Shiva dari India yang sering disebut dengan kajian ekofeminsime.

Ekofeminisme ini menghubungkan antara feminism
e dan ekologi yang berarti didalamnya tercakup aspek Politik, Demokrasi, Gerakan Sosial, Lingkungan Hidup, Ketimpangan Gender dan tentunya Hak Asasi Manusia.
Dalam rangka usaha memberikan kesetaraan gender para aktivis dalam kerangka gerakan sosial mereka memiliki berbagai macam strategi. Menurut Vandana Shiva dalam rangka kesetaraan gender dengan memperjuangkan lingkungan adalah dengan cara pengetahuan. Menurutnya, kekuatan yang paling besar adalah pengetahuan, maka dari itu, ia aktif menuliskan pemikirannya dalam rangka perjuangan ekofeminsime ini. Selain itu terdapat juga melalui gerakan-gerakan sosial seperti gerakan memeluk pohon yang terinspirasi gerakan mahatma Gandhi (Halim, 2012).
8.      Feminisme Lesbianisme
Esensi dari lesbianisme adalah politik, karena ideologi ini mengkritisi supremasi laki-laki melalui lembaga dan ideologi yang heteroseksual. Charlotte Bunch menyajikan perbedaan yang jelas antara lesbian dan perempuan murni, lesbianisme menekankan keterikatan perempuan terhadap perempuan, sementara heteroseksual menekankan keterikatan perempuan terhadap laki-laki (dalam Arivia, 2003).
Dalam heteroseksual, laki-laki menikmati hak-hak istimewa yang lebih tinggi. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai suatu bentuk properti laki-laki. Tubuhnya, pelayanannya, dan anak-anaknya menjadi milik laki-laki. Kenyataan ini memicu sejumlah perempuan untuk mendobrak sistem patriarkhi - konvensional dan mengembangkan suatu gaya hidup baru dengan karakter yang sarat budaya feminin, yaitu lesbianisme yang kontroversial.
Contoh Kasus (INSIST, 2012):
Pada 1972, Charlotte Bunch menulis artikel “Lesbians in Revolt” diharian feminis The Furies, yang terbit di Washington DC. Artikel itu kemudian dibukukan oleh Diana Press pada tahun 1975 dengan tema: Lesbianism and the Women’s Movement. Menurut Charlotte Bunch, lesbianisme lebih dari sekedar pilihan dari sebuah orientasi seksual. Ia adalah ekspresi melawan ketidakadilan gender.
Bagi gerakan feminisme, lesbian mempunyai arti politis, yaitu:
1)      Sebagai landasan untuk membebaskan perempuan (liberation of women);
2)      Wujud pemberontakan terhadap otoritas laki-laki yang selalu mengatur perempuan bagaimana seharusnya berperangai, merasakan, melihat dan hidup di dunianya;
3)      Wujud kecintaan perempuan terhadap dirinya sendiri, karena dalam budaya Barat khususnya, mereka sering dinomorduakan. Selanjutnya,
4)      Lesbianisme juga merupakan simbol penolakan dominasi seksual dan politik laki-laki. Dengan lesbianisme, perempuan menantang dunia laki-laki, organisasi sosialnya, ideologinya dan anggapannya tentang perempuan sebagai makhluk lemah. Tindak lesbian bukan sebatas pilihan seksual, tetapi merupakan pilihan politik. Sebab hubungan laki-laki dan perempuan pada intinya adalah hubungan politis yang melibatkan kekuasaan dan dominasi.
5)      Lesbianisme mengutamakan perempuan di saat dunia menyatakan supremasi laki-laki.
6)      Sebagai usaha untuk menghancurkan sistem yang seksis, rasis, kapitalis dan imperialis
Menurut kaum feminis-lesbian, imperialisme yang hakiki adalah penindasan laki-laki terhadap perempuan; laki-laki mengklaim tubuh dan pelayanan perempuan sebagai propertinya. Di samping itu, lesbianisme dimaknai sebagai bukti solidaritas perempuan untuk sesamanya, baik dalam hal perasaan, fisik, politik maupun ekonomi. Lesbianisme bukan saja sebagai jalan alternatif terhadap penindasan yang terjadi dalam relasi laki-laki dan perempuan, tetapi lebih karena ungkapan kecintaan terhadap sesama perempuan. Jika perempuan menolak lesbianisme, berarti mereka menerima statusnya sebagai kelas dua.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar