Pengertian gender menurut para ahli, antara lain :
- Gender
adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran
perempuan ditentukan (Suprijadi dan Siskel, 2004). - Gender
adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan lakilaki
yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang
berlaku dalam periode waktu tertentu (WHO, 2001). - Gender
adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi
perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya (Azwar, 2001). - Gender
adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (Suryadi dan Idris,
2004).
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa
gender adalah: suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan
antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Kelompok atribut dan perilaku
yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan.
A. Hal-hal yang Bersifat Kodrati dan bukan Kodrati didalam Masyarakat
Mengapa selama ini orang sering mencampuradukkan pengertian Gender dan kodrat? Dikarenakan perbedaan kodrat yang dimiliki perempuan dan
laki-laki tersebut, masyarakat mulai memilah-milah peran sosial seperti apa yang (dianggap) pantas untuk laki-laki
dan bagian mana yang (dianggap) sesuai untuk perempuan. Misalnya, hanya karena
kodratnya perempuan mempunyai rahim dan bisa melahirkan anak, maka
kemudian berkembang anggapan umum di masyarakat bahwa perempuanlah yang
bertanggung jawab mengurus anak. Selanjutnya, anggapan tersebut semakin
berkembang jauh dimana perempuan dipandang tidak pantas sibuk di luar rumah
karena tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai. Kebiasaan ini lama kelamaan
berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan dianalogikan
dengan pekerjaan pekerjaan domestik dan ‘feminin’ sementara laki-laki dengan
pekerjaan-pekerjaan publik dan ‘maskulin’. Peran
Gender adalah peran yang
diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Peran Gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat,
pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai hasil
bentukan sosial, tentunya peran Gender bisa berubah-ubah
dalam waktu, kondisi dan tempat yang berbeda sehingga sangat mungkin
dipertukarkan diantara laki-laki dan perempuan. Mengurus anak, mencari nafkah,
mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dll) adalah peran yang
bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga bisa bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat. Dengan demikian,
pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa kita istilahkan sebagai peran Gender. Jika peran Gender dianggap sebagai
sesuatu yang dinamis dan bisa disesuaikan dengan kondisi yang dialami
seseorang, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menganggap aneh seorang
suami yang pekerjaan sehari-harinya memasak dan mengasuh anak-anaknya,
sementara istrinya bekerja di luar rumah. Karena di lain waktu dan kondisi,
ketika sang suami memilih bekerja di luar rumah dan istrinya memilih untuk melakukan
tugas-tugas rumah tangga, juga bukan hal yang dianggap aneh.
B. Ketimpangan dan kesetaraan Gender
di Lingkungan Masyarakat
Kasus :
Di daerah kita
masing-masing sering kita jumpai seorang istri yang memilih bekerja di rumah dan
suaminya memilih bekerja buruh di pabrik. Pada saat mengambil keputusan di
keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin bekerja di luar atau di dalam
rumah. Demikian juga sang suami tidak keberatan untuk bertukar peran suatu saat
istrinya mempunyai kesempatan bekerja di pabrik. Dalam hal ini kita bisa
mengatakan bahwa telah tercipta kesetaraan Gender di dalam keluarga
tersebut. Istri tidak dipaksa suami untuk tinggal di rumah dan suami tidak
diharuskan bekerja di pabrik. Mereka memilih peran tersebut atas dasar
kemampuan dan keinginan masing-masing pihak, tidak ada paksaan ataupun tekanan
dari istri maupun suami. Kesetaraan Gender tercipta manakala
istri dan suami mempunyai peluang yang sama untuk memilih jenis pekerjaan yang
disukainya dan mempunyai posisi yang sama saat mengambil keputusan dalam
keluarga. Sedangkan pada kebanyakan kasus, korban KDRT adalah perempuan. Tentu
saja laki-laki pun bisa jadi korban kekerasan dalam rumah tangga meskipun
jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban kekerasan
terhadap perempuan. Dari sekitar 10 sampai 69 persen dari pasangan hidup di
dunia, perempuan menjadi korban kekerasan fisik dari pasangannya. Prosentase
ini belum termasuk pada kekerasan psikis (mental) dan seksual, yang tentunya
menimbulkan dampak lebih panjang dan kompleks bukan hanya bagi korban kekerasan
tersebut (perempuan) tapi juga bagi yang menyaksikan kekerasan tersebut terjadi
di dalam keluarga, yaitu anak-anak.
Penjelasan :
Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa
membicarakan kesetaraan Gender adalah sesuatu yang
mengada-ada. Hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok orang yang berpikir
konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki
dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda. ‘Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan
biaya saja, toh nantinya akan kembali juga masuk dapur’. Pernah mendengar
ungkapan seperti itu? Hal ini masih kerap terlontar saat dipertanyakan apakah
anak perempuan atau laki-laki yang akan diberikan kesempatan untuk meneruskan
sekolah. Dari ungkapan tersebut sudah dapat kita lihat ada dua hal yang
mencerminkan tidak adanya kesetaraan Gender yaitu: Perempuan tidak
diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna
bagi dirinya dan lingkungannya,
Laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka
memilih ‘masuk dapur’. Pemikiran seperti ini umumnya muncul terutama pada
kelompok masyarakat tradisional-patriarkhi yang masih menganggap
bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di
dapur. Bukan kodratnya perempuan untuk masuk dapur, karena kegiatan memasak di
dapur tidak ada kaitannya dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan.
Kegiatan memasak di dapur (atau kegiatan domestik lainnya) adalah suatu bentuk
pilihan pekerjaan dari sekian banyak jenis pekerjaan yang tersedia (misalnya
guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dll), yang tentu saja boleh
dipilih oleh perempuan ataupun laki-laki. Kesetaraan Gender memberikan pilihan, peluang dan kesempatan tersebut
sama besarnya pada perempuan dan laki-laki.
C. Ciri-ciri Ketimpangan dan Keadilan Gender didalam Masyarakat
Bentuk-bentuk atau ciri-ciri ketidakadilan
gender itu antara lain peminggiran (Marginalisasi), penomorduaan
(Subordinasi), pelebelan (Stereotip), kekerasan (Violence), beban kerja
berlebihan (Multiple Burden).
Contoh ketidakadilan gender pada
remaja, jika terjadi kehamilan pada remaja putri yang masih sekolah maka
hanya remaja putri tersebut yang dikeluarkan dari sekolah sementara remaja
putra yang menghamili tidak dikeluarkan. Seharusnya jika mungkin, kedua-duanya
tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa seorang
pria tidak dapat dimintai pertanggung jawaban jika si perempuan yang
menggodanya dengan baju atau sikap menggoda. Oleh sebab itu semua pria seharusnya mampu mengontrol dorongan seksual
mereka. Mereka yang mengatakan tidak mampu menngontrol dorongan seksual mereka
berarti bohong dan tidak dewasa. Jika pria tidak bisa mengontrol
diri sendiri berarti mereka punya masalah. Tidak akan pernah dan tidak mungkin ada alasan untuk menyakiti orang
lain.
Dalam konteks contoh kasus diatas seharusnya
perempuan mendapat perlakuan yang sama (gender) sehingga tidak terjadi
pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran hak asasi, sehingga tidak tercipta adanya persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan, seperti hak dalam bidang sosial, politik, ekonomi,
budaya dan lain-lain.
D. Akibat dari Ketimpangan atau Ketidakadilan Gender
1. Kekerasan Ekonomi
Merupakan setiap tindakan yang
mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi atau tereksploitasi. Seperti
kaum perempuan mendapatkan warisan lebih kecil dari pada kaum laki-laki,
kemungkinan tidak diberi uang belanja oleh suami. Dan dalam hubungan
kerja, perempuan sering mendapatkan upah lebih rendah dari pada upah laki-laki.
2. Marginalisasi
Merupakan suatu kondisi dimana
posisi perempuan terpinggirkan, seperti dalam hal kerja pihak perusahaan
cenderung menekan upah buruh perempuan, karena perempuan dianggap tidak banyak
menuntut meskipun upah mereka lebih rendah dari laki-laki, selain itu karena
mereka dianggap bukan pencari nafkah utama. Selain itu kondisi kerja
mereka buruk seperti tempat dan situasi kerja yang membahayakan
kesehatan, tidak adanya jaminan keselamatan, dan kesehatan kerja (K3), tidak
adanya jaminan sosial (Jamsostek), dan mereka tidak pernah mendapatkan
cuti haid. Marginalisasi juga berarti meminggirkan perempuan menjadi pekerja
sektor informal yang jauh dari akses perlindungan hukum, dengan kondisi seperti
penghasilannya tidak menentu dan tidak berkesinambungan juga waktu atau jam kerjanya
panjang.
3. Kekerasan Sosial
Kekerasan Sosial yaitu berupa
Domestifikasi, dimana perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap pengurusan
rumah tangga. Mereka tetap dituntut untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh
anak walaupun mereka bekerja mencari nafkah (produksi). Hal ini menyebabkan
banyak kaum perempuan terutama yang sudah berumah tangga ingin bekerja
dekat dengan rumah agar tetap bisa mengurus rumah tangganya.
4. Beban kerja yang
berlebih
Merupakan tuntutan terhadap kaum
perempuan untuk tetap memikirkan dan membagi waktunya dalam mengurus rumah
tangga, melayani suami atau anggota keluarga yang lain dan merawat anak,
walaupun mereka bekerja mencari nafkah (produksi). Sehingga mengakibatkan
jam kerja perempuan menjadi sangat panjang dan beban kerja berlebih. Hal ini
juga yang memungkinkan mereka menjadi kurang istirahat, kelelahan, tidak ada
waktu untuk mengurus diri sendiri, kekurangan waktu luang, kesulitan membagi
waktu, tertekan dan mengalami gangguan hubungan dengan suami, anak atau anggota
keluarga yang lainnya.
5. Tidak diakui sebagai
pencari nafkah keluarga
Kaum perempuan secara de facto
banyak yang bekerja mencari nafkah, bahkan pada perempuan kelas bawah istri
secara tidak langsung dituntut untuk mencari nafkah, dan apabila satu pekerjaan
penghasilannya belum mencukupi, maka mereka akan mencari sumber penghasilan
lainnya. Namun walaupun perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
tetap saja dia dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Hal ini disebabkan,
karena adanya anggapan yang melekat dalam masyarakat patriarki bahwa perempuan
bukan pencari nafkah utama dalam keluarganya dan penghasilan kerja perempuan
dianggap sebagai tambahan penghasilan suami.
6. Kekerasan fisik,
kekerasan priskologis dan kekerasan seksual
Selain mengalami hal-hal diatas,
perempuan juga bisa mengalami kekerasan lain seperti : kekerasan fisik, yaitu
setiap sikap dan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, luka fisik atau cacat
pada tubuh. Yang termasuk kekerasan fisik meliputi pemukulan, beban kerja yang
berlebih atau perampasan kemerdekaan yang sewenang-wenang ( tidak boleh
bergaul, tidak boleh menyatakan pendapat, dsb). Kekerasan psikologis, yaitu
setiap sikap dan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya atau bahkan
hingga gila. Kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan
seksual atau memaksa untuk berhubungan seksual.
E. Faktor yang Menghambat Keadilan dan Kesetaraan Gender
Ada banyak faktor penghambat upaya
untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat kita.
Berbagai faktor penghambat yang akan dibahas adalah: faktor budaya, stereotipe,
political will, dan keengganan/ketakutan laki-laki bila perempuan menjadi pemimpin
mereka, serta terakhir adalah kesalahan perempuan sendiri.
Pertama faktor Budaya. Budaya adalah
faktor yang paling dominan yang menghambat proses pembangunan. Misalnya
kebudayaan-kebudayaan lokal akan bertentangan dengan ide-ide modernisasi dan globalisasi
dalam pembangunan. Sama halnya dengan isu gender yang berbau modern dan global
berusaha merubah kebiasaan dan pola hidup yang dianggap lokal dan tradisional.
Kedua, faktor stereotipe. Anggapan
bahwa perempuan lemah, emosional, boros, dipenden, tidak sabar, tidak cocok
jadi pemimpin dan lain-lain hanyalah hasil konstruksi sosial-budaya suatu
masyarakat untuk selalu memojokkan perempuan. Tampaknya stereotipe negatif
seperti ini sudah melekat dan dianggap sebagai kodrat bagi perempuan sehingga
merupakan suatu hal yang tidak bisa diubah. Stereotipe seperti ini sudah
melekat dalam pikiran laki-laki dan perempuan dan tampaknya hal ini telah
dijadikan senjata oleh laki-laki untuk menghambat kemajuan bagi perempuan.
Ketiga, faktor political will.
Hingga saat ini berbagai peraturan yang mengatur tentang kesetaraan dan
keadilan gender sudah cukup memadai. Namun disayangkan political will dari
pemerintah masih belum tanggap untuk mendukung dan menjalankan berbagai
peraturan tersebut. Landasan idiil(Pancasila) dan landasan konstitusionil(UUD
1945), GBHN 1999 dan Inpres no:9/2000 secara eksplisit dan implisit sudah
menyinggung tentang kesetaraan dan keadilan jender. Di tambah lagi dengan
berbagai Konvensi PBB yang telah dirativikasi, misalnya Konvensi PBB yang dirativikasi
dengan UU No 7 tahun 1984 tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi
terhadap perempuan; Konvensi PBB yang dirativikasi dengan UU No: 68 tahun 1968
tentang hak berpolitik perempuan; Konvensi ILO Nomor 100 tentang persamaan hak
untuk perlakuan yang adil; Konvensi ILO No: 111 dirativikasi dengan UU
No:21/1999 tentang diskriminasi mengenai upah dan jabatan. Masalahnya
pemerintah masih enggan untuk menindaklanjuti berbagai peraturan tersebut. Hal
ini mungkin juga dilandasi oleh faktor budaya dan agama di atas yang
seolah-olah hanya melegalkan posisi perempuan sebagai subordinatif bagi
laki-laki. Apalagi bila kebijakan itu menyentuh kepentingan agama, maka
pemerintahpun harus berhati-hati.
Keempat, ketakutan kaum lelaki pada
perempuan. Faktor ketakutan ini wajar, karena sejak jaman Adam dan Hawa
laki-laki selalu menang, dan perempuan disalahkan. Laki-laki adalah kepala
rumah tangga dan sumber utama/tulang punggung ekonomi keluarga. Ada kekawatiran
bila perempuan menjadi pemimpin sementara suaminya menjadi bahawan isterinya
atau pangkat dan jabatannya jauh di bawah isterinya, akan menimbulkan tekanan
psikologis yang luar biasa. Di samping itu, perempuan yang menjadi pemimpin
agak susah untuk diajak berkolusi karena ketegasan dan kejujuran mereka. Bayangkan
saja seorang guru perempuan yang suaminya nganggur atau “swasta”. Bisa kita
bayangkan bagaimana perasaan dan harga diri suaminya, yang seharusnya
suaminyalah yang menjadi guru dan tulang punggung ekonomi keluarga. Namun
sebenarnya perasaan seperti itu tidak perlu terjadi bila masing-masing sudah
bisa memahami dan menerima konsep jender yang seharusnya kita praktekkan dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Kelima, kesalahan perempuan sendiri.
Di samping beberapa faktor di atas, sebenarnya kesenjangan gender antara
laki-laki dan perempuan adalah kesalahan perempuan itu sendiri. Sebenarnya apa
yang dihadapi oleh perempuan pada saat ini bukanlah masalah yang mengganggu
mereka, sehingga timbul sifat apatis dan menyerah pada keadaan. Sifat menyerah
pada keadaan ini dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki hidup muncul dari
pengaruh nilai-nilai agama dan budaya agar bila ada masalah menyerahkan masalah
itu pada Tuhan dan seolah-olah tidak boleh ada usaha lain selain hanya berserah
pada Tuhan.
Dikemukakan oleh Bemmelen
(2002), beberapa ciri gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada pria dan
wanita sebagai berikut. Perempuan memiliki ciri-ciri: lemah, halus atau lembut,
emosional dan lain - lain. Sedangkan pria memiliki ciri-ciri: kuat, kasar,
rasional dan lain-lain. Namun dalam kenyataannya ada wanita yang kuat, kasar
dan rasional, sebaliknya ada pula pria yang lemah, lembut dan emosional.
Beberapa status dan peran yang dicap cocok atau pantas oleh masyarakat untuk
pria dan wanita sebagai berikut.
v Perempuan
:
1. Ibu rumah tangga.
2. Bukan pewaris.
3. Tenaga kerja domestik (urusan rumah tangga).
4. Pramugari.
5. Panen padi
1. Ibu rumah tangga.
2. Bukan pewaris.
3. Tenaga kerja domestik (urusan rumah tangga).
4. Pramugari.
5. Panen padi
v Pria :
1. Kepala keluarga/rumah tangga.
2. Kewaris.
3. Tenaga kerja publik (pencari nafkah).
4. Pilot.
5. Pencangkul lahan
1. Kepala keluarga/rumah tangga.
2. Kewaris.
3. Tenaga kerja publik (pencari nafkah).
4. Pilot.
5. Pencangkul lahan
Dalam kenyataannya, ada
pria yang mengambil pekerjaan urusan rumah tangga, dan ada pula wanita sebagai
pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka, sebagai pilot, pencangkul lahan
dan lain-lain. Dengan kata-kata lain, peran gender tidak statis, tetapi dinamis
(dapat berubah atau diubah, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi).
Berkaitan dengan
gender, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut.
1) Peran
produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang
menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk
diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik.
2) Peran
reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang
berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah
tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah
tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini
disebut juga peran di sektor domestik.
3) Peran
sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan
beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara
Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
F. Peranan Wanita dalam Pembangunan
Setelah
kita mempunyai pemahaman yang sama tentang konsep gender, berikut ini akan
dibahas peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender. Peranan wanita
dalam pembangunan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh wanita pada
status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang
politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan
keamanan, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan wanita
dalam pembangunan yang berwawasan gender, berarti peranan wanita dalam
pembangunan sesuai dengan konsep gender atau peran gender sebagaimana
telah dibahas di depan, mencakup peran produktif, peran reproduktif dan peran
sosial yang sifatnya dinamis. Dinamis dalam arti, dapat berubah atau diubah
sesuai dengan perkembangan keadaan, dapat ditukarkan antara pria dengan wanita
dan bisa berbeda lintas budaya.
Mengupayakan
peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan atau berperspektif gender,
dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau
kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita di dalam pembangunan.
Karena, dalam proses pembangunan kenyataannya wanita sebagai sumber daya insani
masih mendapat perbedaan perlakuan (diskriminasi). Terutama, jika wanita
bergerak di sektor publik dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada pula
ketimpangan gender yang dialami oleh pria. Untuk mewujudkan kemitrasejajaran
yang harmonis antara pria dengan wanita tersebut, perlu didukung oleh perilaku
saling menghargai atau saling menghormati, saling membutuhkan, saling membantu,
saling peduli dan saling pengertian antara pria dengan wanita. Dengan demikian,
tidak ada pihak-pihak (pria atau wanita) yang merasa dirugikan dan pembangunan
akan menjadi lebih sukses.
Usaha-usaha
untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender sesungguhnya sudah lama dilakukan
oleh berbagai pihak, namun masih mengalami hambatan. Kesetaraan dan keadilan
gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya
kaum wanita. Oleh karena itu pemerintah telah mengambil kebijakan, tentang
perlu adanya strategi yang tepat yang dapat menjangkau ke seluruh instansi
pemerintah, swasta, masyarakat kota, masyarakat desa dan sebagainya. Strategi
itu dikenal dengan istilah
pengarusutamaan gender, berasal dari bahasa Inggris gender mainstreaming. Strategi ini tertuang di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
pengarusutamaan gender, berasal dari bahasa Inggris gender mainstreaming. Strategi ini tertuang di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Dengan
pengrusutamaan gender itu, pemerintah dapat bekerja secara lebih efisien dan
efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif
gender kepada seluruh lapisan masyarakat, baik pria maupun wanita. Dengan
strategi itu juga, program pembangunan yang akan dilaksanakan akan menjadi
lebih sensitif atau responsif gender. Hal ini pada gilirannya akan mampu
menegakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pria dan wanita atas kesempatan yang
sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat.
Secara
operasional, pengarusutamaan gender dapat diartikan sebagai suatu upaya yang
dibangun untuk mengintegrasikan kebijakan gender dalam program pembangunan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan (monitoring) dan evaluasi.
Pengarusutamaan gender, bertujuan untuk terselenggaranya perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender (Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana,
2003).
Pengarusutamaan
gender barulah akan memberikan hasil secara lebih memuaskan, jika dilaksanakan
oleh seluruh kalangan masyarakat, mulai dari yang tergabung dalam lembaga
pemerintah, swasta seperti organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi
politik, organisasi keagamaan dan lain-lain sampai pada unit yang terkecil
yaitu keluarga. Dalam pembangunan di bidang kesehatan misalnya, kalau
perencanaannya, pelaksanaannya atau pelayanannya, pemantauannya dan evaluasinya
sudah berwawasan gender, maka dapat dipastikan bahwa kesehatan yang baik dapat
dinikmati oleh baik laki-laki maupun perempuan. Begitu juga pembangunan di
bidang-bidang yang lainnya.
Dari
uraian di atas dapat diketahui, bahwa ruang lingkup pengarusutamaan gender
meliputi empat hal, yakni perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi. Dalam pelaksanaannya, masing-masing hal itu harus mempertimbangkan
empat aspek, yaitu peran, akses, manfaat dan kontrol. Artinya, apakah dalam
keempat hal tersebut sudah mempertimbangkan bahwa peran pria dan wanita sudah
setara dan adil. Apakah akses yang diterima oleh pria dan wanita juga akan
setara dan adil. Apakah manfaat yang langsung dirasakan oleh pria dan wanita
sudah setara dan adil. Akhirnya, apakah pria dan wanita mempunyai kesempatan
yang sama dalam melakukan kontrol dan pengambilan keputusan.
v Peranan
Perempuan dalam Pembangunan
Di
dalam pemerintahan, kaum perempuan bukan hanya sebagai pendamping suami, tapi
kaum perempuan turut serta berpartisipasi, berperan serta bahkan turut
menentukan arah pembangunan. Hal ini terbukti terdapat perempuan-perempuan
tangguh yang menjadi Kepala Negara dan Kepala Daerah, mulai dari Presiden-Wakil
Presiden, Gubernur- Wakil Gubernur, Bupati- Wakil Bupati, Kepala Badan/
Lembaga/ Dinas/ Instansi, Kabag, Camat, Lurah, Kades demikan pula menjadi
anggota legeslatif. Dan pada Pemilu 2014 pemerintah telah memberikan quota 30%
keterwakilan perempuan dalam legislatif.
Karena
itu dalam kegiatan pembangunan kaum perempuan mempunyai peran:
1. Menyiapkan
kader calon pemimpin bangsa, dimulai dari kehidupan keluarga. Bila perempuannya
baik maka akan mencetak generasi yang baik dan bertanggung jawab.
2. Perempuan
turut perperan aktif dalam kegiatan pembanguan terhimpun dalam Organisasi GOW
yang merupakan wadah dari organisasi perempuan. Dengan PKK dan Dharma Perempuan
telah berperan aktif dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Baik
pembangunan dalam bidang mental spiritual sampai kegiatan peningkatan ekonomi,
kesejahteraan keluarga dan masyarakat, melaksanakan kegiatan sosial,
pendidikan, pelestarian lingkungan dan pemanfatan lingkungan hidup. Fatayat,
Muslimat, Aisyiyah, NA, Umri dan lainnya terbukti telah turut serta
melaksanakan pembangun dalam perspektif agama
3. Perempuan
turut menentukan arah pembangunan Negara Indonesia, hal ini karena banyak kaum
perempuan yang duduk dalam pemerintahan, baik sebagai eksekutif maupun
legislatif. Bahkan kaum perempuan dapat memasuki semua lini jabatan dalam
pemerintahan, lembaga pemerintah maupun swasta.
4. Dengan
masuknya kaum perempuan dalam organisasi pemerintah, swata, LSM dapat
menentukan maju-mundurnya suatu organisasi.
Demikianlah
bahwa peran kaum perempuan dalam pembangunan, yang terbukti telah mewarnai
segala kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu pandangan lama yang
memarjinalkan kaum perempuan sebagai warga kelas dua. Sebagai pihak yang hanya
punya hak berkiprah di wilayah domestik, sementara wilayah publik dipandang
bukan menjadi hak kaum perempuan. Kaum perempuan dipandang sebagai pihak yang
lemah, emosional, tidak dapat menggunakan akal budinya, dan tidak mampu
mengembangkan kepemimpinan yang kuat dan efektif. Kaum perempuan dipandang
tidak akan mampu masuk ke wilayah politik pemerintahan, karena wilayah ini
dipandang sebagai wilayah yang keras, kompleks dan membutuhkan stamina fisik,
sehingga tidak mungkin kaum perempuan berkiprah di sana.
Pandangan
lama harus digantikan dengan pandangan yang baru. Pandangan baru yang dimaksud
adalah pandangan yang melihat kaum perempuan adalah manusia yang juga memiliki
hak dan kesempatan yang sama. Dengan pandangan baru ini segala bentuk
diskriminasi yang membatasi ruang gerak perempuan hendaknya dihapuskan dan
digantikan dengan pandangan yang memperluas ruang gerak kaum perempuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Moore,H.L. 1988. Feminism and Anthropology. Cambridge: Polity Press.
Saptari,R, 1997. Studi Perempuan: Sebuah Pengantar dalam Saptari,R. Dan
Holzner (eds), Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi
Perempuan.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta : PT Raja Grafindo. 1998
Syarbaini, Syahrial. Dasar-Dasar Sosiologi.
Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009
www.geoggel.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar