Pengabdian Anak Terhadap Orangtua
Pengabdian
Anak Terhadap Orangtua
Betapa
indahnya jika kita bisa membahagiakan orang tua kita. Orang tua yang
telah membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Orang tua yang telah mendidik
dan merawat kita sedari kecil. Orang tua yang telah mengerahkan segala yang
mereka punya demi kebahagiaan kita, anak-anaknya. Terima kasihku yang tak
terhingga untukmu wahai Ayah Ibu.
Allah
berfirman, yang artinya, “Dan Rabbmu telah memerintahkan kepada
manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat
baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.” (Qs. Al Israa’ 23)
Alangkah
bahagianya seorang anak yang bisa menjalankan ketaatan kepada Allah
dan
Rasul-Nya, dengan mendapatkan dukungan dari orangtuanya. Akan tetapi, bagaimana
jika orang tua melarang kita melakukan kebaikan berupa ketaatan pada Allah dan
Rasul-Nya? Keistiqomahan kita, bahkan bagaikan api yang menyulut kemarahan
mereka.
Di antara
mereka bahkan ada yang menyuruh pada perbuatan yang dilarang Allah?
Bagaimanakah seharusnya sikap kita? Jika teringat kewajiban kita untuk berbakti
pada mereka, terlebih teringat besarnya jasa mereka, berat hati ini untuk
mengecewakan mereka. Sungguh hati ini tak tega bila sampai ada perbuatan kita
yang menjadikan mereka bermuram durja.
Durhaka atau
tidaknya seorang anak tetaplah harus dipandang dari kacamata syariat. Tak semua
anak yang melanggar perintah orang tua dikatakan anak durhaka. Karena ketaatan
pada orang tua tidak bersifat mutlak. Tidak sebagaimana ketaatan pada Allah dan
Rasul-Nya yang sifatnya mutlak.
Ada beberapa
hal yang sering dianggap sebagai kedurhakaan pada orang tua, padahal sebenarnya
bukan. Antara lain:
1. Anak
menolak perintah orangtua yang melanggar syariat Islam
Pada
asalnya, seorang anak wajib taat pada orangtuanya. Akan tetapi jika yang
diperintahkan orang tua melanggar syariat, maka anak tidak boleh mentaatinya.
Yaitu jika orang tua memerintahkan anak melakukan kesyirikan, bid’ah dan
maksiat. Contoh konkritnya: orang tua memerintahkan anak memakai jimat, orang
tua menyuruh ngalap berkah pada kyai A, orang tua menyuruh anak berjabat tangan
dengan lelaki bukan mahrom, dll. Maka, saat sang anak menolak hal tersebut
tidaklah dikatakan durhaka. Bahkan ini termasuk bakti kepada orang tua karena mencegah
mereka dari perbuatan haram.
Allah
berfirman yang artinya, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”
(Qs. Luqman: 15)
Namun,
seorang anak hendaknya tetap menggunakan adab dan perkataan yang baik. Dan
terus mempergauli dan mendakwahi mereka dengan baik pula.
2. Anak
tidak patuh atas larangan orangtua menjalankan syariat Islam
Tidak
disebut durhaka anak yang tidak patuh saat orangtuanya melarang sang anak
menjalankan syariat Islam, padahal di saat itu orang tua sedang tak
membutuhkannya (misal karena orang tua sedang sakit atau saat keadaan darurat).
Contoh konkritnya: melarang anaknya shalat jama’ah, memakai jilbab, berjenggot,
menuntut ilmu syar’i, dll.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah wajib mentaati makhluk
yang memerintah agar maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad). Dan di dalam
hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan pula bahwasanya ketaatan hanya
dilakukan dalam perkara yang baik. Maka janganlah engkau melakukan perkara yang
haram dengan alasan ingin berbakti pada orang tuamu. Tidak wajib bagimu taat
pada mereka dalam bermaksiat pada Allah.
3. Orang tua
yang marah atas keistiqomahan dan nasihat anaknya
Seorang anak
wajib menasihati orang tuanya saat mereka melanggar syariat Islam. Apabila
orang tua sakit hati dan marah, padahal sang anak telah menggunakan adab yang
baik dan perkataan yang lembut, maka hal ini tidak termasuk durhaka pada orang
tua.
Saat gundah
menyapamu. Bagaimana ini, aku telah membuat orang tuaku marah? Padahal bukankah
“Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah,
bergantung pada kemurkaan kedua orang tua” (HR. Tirmidzi)? Marahnya orang
tua atas keistiqomahan dan nasihat anak, tidaklah termasuk dalam hadits di
atas. Hadits di atas tidak berlaku secara mutlak, kita tetap harus melihat
kaidah birrul walidain.
Ingatlah
saat Nabi Ibrahim menasihati ayahnya, “Wahai ayahku, janganlah kamu
menyembah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu durhaka kepada Allah Yang Maha
Pemurah.” (Qs. Maryam: 44). Orang tua yang menolak kebenaran Islam kemudian
mendapat nasihat dari anaknya, kemungkinan besar akan marah. Tapi sang anak
tetap tidak dikatakan durhaka.
Bila
orangtuamu marah atas keistiqomahanmu, maka ingatkan dirimu dengan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang membuat Allah
murka karena ingin memperoleh ridha manusia, maka Allah akan murka padanya dan
Allah menjadikan orang yang ingin ia peroleh ridhanya dengan membuat Allah
murka itu akan murka padanya. Dan siapa yang membuat Allah ridha sekalipun
manusia murka padanya, maka Allah akan ridha padanya
dan Allah
menjadikan orang yang memurkainya dalam meraih ridha Allah itu akan ridha pula
padanya, sampai-sampai Allah akan menghiasi si hamba dan menghiasi ucapan dan
amalannya di mata orang yang semula murka tersebut.”(HR. Ath Thabrani)
Subhanallah.
Perhatikanlah hadits di atas! Ketika engkau menaati orang tuamu dalam
bermaksiat pada Allah, agar orang tuamu ridha. Sedangkan sebenarnya Allah Murka
padamu. Maka, bisa jadi Allah justru akan membuat orang tuamu tetap murka pula
kepadamu. Meski engkau telah menuruti keinginan mereka. Dan sadarkah engkau,
saat engkau menuruti mereka dalam perbuatan maksiat pada Allah, maka sejatinya
perintah mereka akan terus berlanjut. Tidakkah engkau khawatir Allah akan murka
pada orangtuamu disebabkan mereka terus memerintahkanmu bermaksiat kepada-Nya.
Bukankah
hati kedua orang tuamu berada di genggaman Allah. Maka, yang terpenting bagimu
adalah berusahalah meraih ridha Allah dengan keshalihan dan keistiqomahanmu.
Semoga dengan demikian Allah Ridha padamu. Semoga Allah menghiasi ucapan dan
amalan kita sehingga orang tua kita pun ‘bi idznillah’ akhirnya ridha
kepada kita.
Akhlaq
Mulia, Penarik Hati yang Banyak Dilalaikan
Ustadz
Abdullah Zaen, Lc dalam bukunya Empat Belas Contoh Praktek Hikmah dalam
Berdakwah, berkata, “Kerenggangan antara orangtua dan anak itu seringkali
terjadi akibat ‘benturan-benturan’ yang terjadi dampak dari orang tua yang
masih awam memaksa si anak untuk menjalani beberapa ritual yang berbau syirik,
sedangkan si anak berpegang teguh dengan kebenaran yang telah ia yakini.
Akhirnya yang terjadi adalah kerenggangan di antara penghuni rumah tersebut.
Hal itu semakin diperparah ketika si anak kurang bisa mencairkan suasana dengan
mengimbangi kesenjangan tersebut dengan melakukan hal-hal yang bisa
membahagiakan orangtuanya. Padahal betapa banyak hati orang tua -bi idznillah- yang
luluh untuk menerima kebenaran yang dibawa si anak bukan karena pintarnya anak
beragumentasi, namun karena terkesannya sang orang tua dengan akhlak dan budi
pekerti anaknya yang semakin mulia setelah dia ngaji!! Penjelasan ini sama
sekali tidak mengecilkan urgensi argumentasi yang kuat, namun alangkah indahnya
jika seorang muslim apalagi seorang salafi (mb, kira2 kata ini perlu diganti
ga? Ana bingung nyari kata penggantinya) bisa memadukan antara argumentasi yang
kuat dengan akhlak yang mulia!”
Maka, akhlaq
yang mulia adalah jalan terdekat menuju luluhnya hati orangtua. Anak adalah
mutiara hati orang tua. Saat mutiara itu bersinar, hati orang tua mana yang
tidak menjadi terang.
Percaya atau
tidak. Kedekatanmu kepada mereka, perhatianmu, kelembutanmu, bahkan hanya
sekedar wajah cerah dan senyummu di hadapan mereka adalah bagaikan sinar
mentari yang menghangatkan hati mereka.
Sayangnya,
banyak dari kita yang justru melalaikan hal ini. Kita terlalu sibuk dengan
tuntutan kita karena selama ini orangtua-lah yang banyak menuruti keinginan
kita. Seakan-akan hanya orangtua-lah yang wajib berlaku baik pada kita, sedang
kita tidak wajib berbuat baik pada mereka. Padahal, kitalah sebagai anak yang
seharusnya lebih banyak mempergauli mereka dengan baik.
Kita pun terlalu
sibuk dengan dunia kita. Juga sibuk dengan teman-teman kita. Padahal orang tua
hanya butuh sedikit perhatian kita. Kenapakah kita begitu pelit mengirimkan
satu sms saja untuk menanyakan kabar mereka tiap hari? Sedangkan berpuluh-puluh
SMS kita kirimkan untuk sekadar bercanda ria dengan teman kita.
Kemudian,
beratkah bagi kita untuk menyenangkan mereka dengan hadiah? Janganlah engkau
remehkan meski sekedar membawa pulang oleh-oleh seplastik singkong goreng
kesukaan ayah atau sebungkus siomay favorit ibu. Harganya memang tak seberapa,
tapi hadiah-hadiah kecil yang menunjukkan bahwa kita tahu apa kesukaan mereka,
apa yang mereka tak suka, dan apa yang mereka butuhkan, jauh lebih berharga
karena lebih menunjukkan besarnya perhatian kita.
Dakwahku,
Bukti Cintaku Kepada Ayah Ibu…
Hakikat
kecintaan kita terhadap seseorang adalah menginginkan kebaikan bagi dirinya,
sebagaimana kita menginginkan kebaikan bagi diri kita sendiri. Sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak akan sempurna keimanan
salah seorang di antara kalian, sehingga dia mencintai bagi saudaranya
sebagaimana dia mencintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, wujud kecintaan kita kepada orangtua kita adalah mengusahakan kebaikan
bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar